Senin, 27 Juni 2011

Sketsa negeri


negeriku negeri nan kaya tapi tak sekaya hati nurani pemimpin-pemimpin negeriku

Senin, 19 Juli 2010

BENTURAN PRESEPSI PILKADA TERHADAP KEARIFAN LOKAL


Pemilihan kepala daerah atau Pemilu kada yang jaga disingkat dengan PILKADA , dapat diartikan sebagai prosesi hajatan akbar (pesta rakyat) yang dilaksnakan oleh suatu daerah untuk memilih pemimpin pemerintahan daerahnya, intensitas PILKADA menurut salah seorang narasumber dalam dialog pemekaran wilayah dan otonomi daerah mengatakan bahwa, pelaksanaan PILKADA di Negara ini begitu banyak yang tersebar di seluruh nusantara. Wah begitu ramai bukan…? Hal ini tidak dapat di pungkiri, inilah kelanjuatan dari kausalitas keberadaan antara masyarakat atau rakyat dan pemerintahan yang sampai saat ini terus menjalankan rodanya. Atau dengan kata lain inilah aktualisasi dari prosesi ketatanegaraan yang kita anut sampai hari ini, otonomi bersama pemekaran daerah menjadi kado indah bagi daerah yang telah memenuhi persyaratan berdasarkan seleksi yang alot, kalimat sebelumnya mewakili kalimat yang mengatakan agar pemekaran daerah itu tidak kebablasan alias kerasukan syaitan penghasut dan pegumpat untuk kekacauan di tengah masyarakat.

Pemerintahan dan masyarakatnya memiliki hubungan kausalitas yang alamia yang bersifat faktual dari waktu ke waktu, selanjutnya menuju ketatanan yang dicita-citakan lebih aktual dan beradab dari sebuah komunitas yang senantiasa menginginkan keteraturan dan keharmonisan dalam berkehidupan. Suatu keniscayaan pemerintahan itu ada bila tidak mengenali atau mengakui keberadaan masyarat atau rakyatnya bukan ..? cita-cita yang mendambakan kedamaian dan keharmonisan dan ditambahkan lagi dengan kesejahtraan dan selanjutnya kemamkmuran dalam berkehidupan inilah esensi dari kearifan lokal, yang sejak lama diperjuangkan melalui atuaran yang tertuang pada aturan adat-istiadat, dokma keetnisan (sukuisme), yang terus menerus mengalami polarisasi menuju kepada tatanan kenegaraan dalam Negara kesatuan RI, menjadikan cita-cita itu semakin dikuatkan dalam atuaran-aturan kebagsaan dan kenegaraan yang tidak lain adalah aktualisasi dari hati nurani tiap-tiap rakyat yang bersama-sama melawan segala bentuk penjajahan, khususnya para penjajah yang menjajah bangsa Inndonesia selama 350 tahun lamanya. Selanjutnya apa yang terjadi pada saat sekarang ini apa yang lebih menonjol kepermukaan kedamaiaan dan kemakmuran atau penjajahan baru dan kediktatoran ?

Jadi jelaslah tujuan dari PILKADA yang diselenggarakan adalah untuk memilih kepala pemerintahan daerah yang akan melanjutkan dan menjalankan roda pemerintahan demi keteraturan dan kedinamisan serta kesejahteraan masyarakat atau rakyatnya.

Dari kalimat “Pesta Rakyat”, saya jadi teringat dengan kalimat “Pesta Kampung” atau pesta-pesta adat lainnya, mungkin kita bisa tersenyum tipis, memncoba bagaimana jika membandingkan esensi dan estetika yang dikandung antara pesta rakyat (PILKADA) dengan Pesta Kampunng. Ya maklumlah fakta-fakta yang dapat kita temui secara umum di sekeliling kita kemudian telah dapat membentuk presepsi kita secara khusus. Sebagai contoh kasus, sedikit ingin mengajak kembali menilik fakta-fakta yang pernah ada di sekeliling kita tentang hal yang berhubungan dengan PILKADA.

Saya ingin bercerita tentang kisah nyata yang saya temui ketika pilkada yang telah dilaksanakan 2 (dua) tahun yang lalu, di sebuah kota yang bernama kota Bau-Bau, kisahnya seperti ini, pada saat PILAKADA kota Bau-Bau, yaitu untuk pemilihan Wali Kota dan Wakilnya, tentunya menyedot perhatian dari segenap masyarakatnya. Al kisah pada saat-saat berlangsungnya prosesi PILKADA yakni tepatnya menjelang pemilihan (kampanye peserta pilkada), terdapat sebuah keluarga yang sebelum adanya hajatan tersebut, begitu tinggi semangat kekeluargaan namun setelah adanya hajatan tersebut menjadikan hal yang berbeda, menjadi konflik antara keluarga, ceritanya seperti ini.

Dengan adanya hajatan PILKADA yang pesertanya tidak lain adalah merupakan sanak keluarga mereka, namun dari ke-dua peserta yang bersaing merebutkan kursi kepemimpinan Wali Kota dan Wakil Walikota, dari keluarga yang satu mendukung calon yang ber nomor urut 1 dan keluarga yang satunya lagi mendukung calon yang memiliki nomor urut 3. dari perbedaan yang mereka miliki menjadikan perbedaan-perbedaan yang lain dan konflik itu tidak dapat terhindarkan.

Pada suatu saat yang disebabkan oleh kedekatan mereka kepada masing-masing calon yang didukungnya, maka mereka dipercayakan untuk menjadi koordinator wilayah, membentuk posko dan menarik simpati untuk mencari dukungan terhadap calon yang mereka menangkan. Persaingan demi persaingan untuk mendapatkan simpatisan terus terjadi secara diam-diam dan dingin di antara kedua kubu, yang semakin hari semakin menggunung, kembali lagi walaupun mereka adalah sebuah keluarga. Begitu ironis apa yang terjadi, diperkeruh lagi dengan gaya kampanye dan demi mendapatkan simpatisan, dari tim-tim pemenangan dari kedua calon tersebut saling melempar isu, saling melakukan pembunuhan karakter secara terang-terangan atau tersembunyi dan akibat dari hal tersebut secara langsung dan tidak langsung menjadikan sesuatu yang meresahkan di tengah masyarakat umum dan mengusik egosentris antara simpatisan dan pendukung calon yang bersaing, begitu pun yang terjadi diantara keluarga tersebut.

Alhasil ketika PILKADA itu berakhir, di mana pada saat itu telah dapat diketahui walaupun pada awalnya simpang-siur pemberitaannya yang sumbernya dari mulut-ke mulut, di kabarkan bahwa dari hasil perhitungan suara telah dapat diketahui bahwa calon yang memiliki nomor urut 1 telah diputuskan sebagai pemenang dalam PILKADA tersebut. Pada saat itu hari menjelang malam tepatnya setelah shalat Magrib usai, dari kejauhan terdengarlah sorak-sorak kegembiraan dari sebuah posko dan keluarga yang mendukung calon bernomor urut 1, begitru ramai terlihat, dan tidak lama berselang setelah sorak-sorak kegembiraan itu dari sudut yang lain terlihat segerombolan anak-anak yang meluapkan kegembiraannya sambil melakukan pesta kembang api,tanpa menyadari disekitar mereka ada orang-orang yang masih kalut dan bersedih karena mendukung calon yang mengalami kekalahan. Maka tanpa disadari oleh pihak yang bergembira itu spontan dari koordinator pemenangan calon yang kalah itu kemarahan yang meluap-luap dan tak terbendungkan kata-kata yang mewakili bentuk kemarahannya diluapkannya. Seketika saat itu menjadi hening dan tegang. Kata-kata pedas dan panas membakar suasana kegembiraan itu dalam sekejap.

Belum berakhir sampai disitu saja, setelah PILKADA itu berakhir perang dingain di antara keluarga itu belum terselesaikan, saudara menjadi musuh itulah yang mungkin dapat diketahui, sebagai mana bahasa wajah yang tersirat, tergambar sebagai bahasa hati yang belum bias menerima kemalangan.

Berselang 3-4 bulan setelah PILKADA itu berlangsung, dan dari kedua belah pihak yang salah paham itu sama-sama tidak menduga kalau-kalau orang tua mereka pada hari itu telah berpulang ke rahmatullah. Kemudian mereka dilarutrkan dalam suasana duka dan kehilangan sosok yang dihormati dan pengayom mereka, hanya hening yang berkobar di sisi pertikaian yang menghabiskan energi, mungkin sudah saatnya untuk melihat jajuh kedepan tatanan yang ada, saling menundukkan egosentris dan menyadari betapa hikmatnya dan indahnya rasa kekeluargaan yang sejati itu, sehingga dari kedukaan yang mereka alami bersama mereka kembali dalam ikatan kekeluargaan yang lebih kuat lagi dari pada sebelumnya.

Hikmah dari kisah yang terjadi saat PILKADA itu begitu berarti bukan ? dari penggalan cerita di atas maka jangan sampai perbedaan dalam mendukung calon dalam suatu PILKADA itu, dapat mengancurkan nilai-nilai kekeluargaan yang indah dari sebuah keluarga, apalagi itu disebabkan oleh hal sepeleh karena PILLKADA.
Kembali lagi pada pesta kampung, ya maklumlah 75 % rakyat Indonesia berdasarkan survey yang engkau dan aku lakukan termasuk masyarakat di perkampungan. Kembali pula saya teringat dengan beberapa pesta kampung yang lazim dilakukan di sebuah perkampungan yang dapat kita temui, dari prosesi-prosesi pesta kampung itu dapat kita sama-sama saksikan betapa kuatnya kebersamaan, kegotong-royongan di antara warga desa. Para ibu menyiapkan hidangan bagi tamu-tamu kala pesta kampung berlangsung, para bapak bergotong-royong membuat perlengkapan pesta kampung dan tidak ketinggalan pula gotongroyong yang dilakukan oleh para pemuda dan pemudi desa. bukankah itu suatu keindahan desa yang tidak dimiliki oleh lingkungan kota bukan ?, indahnya kearifan local pada masyarakat desa dalam pesta kampung, semua larut padu dalam kebersamaan dan kegotongroyongan juga larut dalam hikmatnya rasa syukur kepada tuhan YME atas anugerah yang diperoleh, bentuk ucapan rasa syukur (selamatan) atas karunia dan anugerah dari Tuhan YME, melaui salawat dan salam ke atas Nabi Muhammmad Saw dan do’a - do’a dipanjatkan.

Berbagai hal yang terjadi dalam pesta kampung yang besifat tradisional namun bernilai kearifan yang membumi ini berbeda kondisinya denngan nilai pesta rakyat (PILAKDA) seperti yang tergambar sekarang ini di berbagai daerah di Indonesia, yang banyak terjadi dari prosesi hajatan rakyat itu justru perselisihan dan sengketa PILKADA yang berhujung kepada kerugian dan menelan korban saja, dampak yang mengenaskan sekaligus memprihatinkan. Mengapa bukanlah kearifan yang membumi tetapi kemungkaran yang jadi membumi di tengah masyarakat.

Bila pendidikan politik itu adalah baik adannya bagi seluruh masyarakat atau rakyat, maka suatu ajaran yang cocok dan pas kiranya esensi yang berkembang sebagai kearifan lokal dalam pesta kampung di adopsi oleh hajatan akbar yang dinamakan sebagai PILKADA. Dengan mengedepankan kearifan-kearifan local maka diharapkan kelak menemui suatu ketetapan yaitu kehidupan yang harmonis dan dinamis dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara di nusantara ini.

Saya kembali tersenyum tipis bila mengingat kisah kami bersama kawan-kawan yang masih berada disebuah kos-kosan kala itu, kami memiliki kelompok kajian yang disingkat LST, kami bukanlah komunitas kajian yang gemuk yang dipenuhi oleh banyak anggota, namun kami adalah kecil tetapi mampu memberi perubahan yang berarti bagi ORDA (organisasi daerah) kami. Seingat saya ada kawan saya yang bernama Anca, edy blokele, Adri, Ala, Eko dan Akhmad ustaz. Suatu ketika kami diperhadapkan dengan kondisi ORDA yang terancam fakum, yang ketika itu kepengurusannya tidak jelas kinerjanya dan seterusnya, dari kenyataan itu kami menyadari, bahwa ORDA adalah bagian dari media pembelajaran dan sekaligus media silaturahim kami ketika itu. Sehingga mengingat hal tersebut diatas mungkin saja karena kesadaran dan semangat yang sama mendorong kami untuk merubah presepsi kami semula. Menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik lagi. Melalui pertemuan beberapa kawan maka kami bersama-sama menjadwalkan sebuah rangkaian kegiatan diskusi dan kajian-kajian tentang berbagai hal yang ingin kami ketahui, ya begitulah sekaligus merekontruksi kerangka berpikir yang masih kacau…

Dari kondisi yang kami sadari tersebut, mungkin satu pertanyaan yang mendasar bagi kami semua ketika itu yaitu bagaimana ORDA kedepannya ?, dari pertemuan-pertemuan yang intensif dari beberapa kawan se-kos-kosan, maksud saya pertemuan yang intensif itu terjadi, disebabkan oleh tempat tinggal yang sama dan permasalahan tentang ORDA yang kami sama-sama sadari. Maka wal-hasil terbentuklah suatu forum kajian dan diskusi kecil-kecilan berskala minoritas itu. Dari waktu ke waktu diskusi demi diskusi gencar kami lakukan, sampai-sampai karena ada abang-abang kami yang memiliki koneksi dengan beberapa pemateri, pemateri-pemateri itu di datagkan untuk berbagi pengetahuan, seingat saya juga beberapa kali kami keluar dari tempat kos yang kami sering skali melakukan diskusi, menuju ke kediaman seorang teman yang turut simpatik dan ingin bergabung dalam suatu prosesi diskusi yang kami sering lakukan pada saat itu.

Suatu ketika kami kedatangan seorang pemateri, yang konon sering membawakan materi pada sebuah kampus di daerah tempat kami menimbah ilmu, ia sering membawakan materi yang bertemakan kapemimpinan, pada saat itu kami langsung merapatkan barisan untuk mendengarkan pemaparan materi yang akan dibawakan. Pada saat semua orang yang tergabung dalam diskusi itu telah usai salah seorang dari kami mencoba bercerita tentang permasalahan ORDA yang kami sama-sama miliki,

Wal-hasil mendapat tanggapan yang menarik sampai-sampai kami pada saat itu merencanakan sesuatu untuk mengangkat seorang ketua dari peserta diskusi untuk memimpin ORDA kami kelak. Singkat cerita orang yang kami tunjuk adalah teman, sahabat kami yang bernama Edi Brokele, pada saat itu pun ia menyatakan kesediaannya dan tentunya kami juga turut akan mendukungnya. Menurut sebahagian dari kami sosok yang kami pilih itu memiliki integritas, loyalitas dan rasa tanggung jawab yang tinggi serta memiliki komotmen, namun yang menjadi fokus adalah kejujuran yang ia punyai. sepintas bagi yang tidak begitu mengenalinya ia dikatakan tidak memiliki cirri-ciri sebagai pemimpin karena ia tidak Vokal, dengan kalimat menyindir ia tidak mampu bergaul dengan baik pada sebahagian anggaota ORDA, ya begitulah nada-nada pesimis akan sosok itu, tetapi yang jelasnya kami tidak akan terpengaruh dengan nada-nada sumbang itu karena kami sangat mengenalinya. Satu hal yang kami sadari sejatinya sosok seperti ia lah ketika itu yang sebaiknya menjadi pemimpin masa depan ORDA kami.

Ketika masa-masa peralihan pengurus pada pengurus yang baru, yang juga lazim di kenal pada organisasi daerah lainnya yang tepatnya disebut MUBES, ketika pelaksanaan Mubes itu berlangsung dimana sepanjang pelaksanaannya di hujani berbagai pendapat dan argumentasi dari kawan-kawan sesame anggota, sosok yang kami maksud pada uraian sebelumnya kenyataannya tidak pernah terlontar pendapat dan argument-argumennya, ia hanya banyak diam, mendengarkan sambil mengamati jalannnya MUBES itu, sampai pada saat penentuan BALON ketua umum namanya muncul dan termasuk dalam nominasi calon ketua umum, dan seterusnya sampai pemilihan ketua dilakukan ia terus maju dan sesekali dengan argument yang padat ia bahasakann kepada forum yang ada. Ya dengan kenyataan yang tidak biasanya mungkin presepsi pesimistis dari kawan-kawan yang tidak mengenali sosok Edi tersebut mengalami gesekan dan sudah seharusnya merubah presepsinya terhadap calon ketua itu. Selanjutnya ketika proses perhitungan suara kenyataan yang muncul adalah Edi menjadi ketua umum dengan perolehan suara yang mutlak.

Setelah prosesi pemilihan itu berlangsung dan masuk pada prosesi pengesahan sebagai ketua ORDA, dari seseorang dari kawan-kawan yang hadir ketika itu mengeluarkan argument yang juga masih pesimis dan tidak mempercayaai kemampuan yang dimiliki oleh Edi, ia mengatakan kepada pembaca berita acara itu dengan nada yang lantang bahwa “bagaimana kalau saudara Edy kita uji kepemimpinannya selama 3 bulan” namun kebanyakan dari peserta yang hadir hanya diam dan binngung mendengar argument yang tidak beralasan itu, setelah semua prosesi itu berakhir dan sosok Edy adalah sebagai ketua umum ORDA, sepulangnya dari prosesi itu ia langsung mengatur rencana untuk mempertanggung jawabkan kepemimpinannya. Singkat cerita wal-hasil selama kepengeurusannya semua berjalan baik dan semua presepsi pesimis itu terbantahkan, suasana cair dan membaur antara satu sama lainnyadan setelah masa kepemimpinannya berakhir jelaslah ia dikenali sebagai pemimpin yang baik untuk ORDA. Dan mungkin saja menjadi puncak perbandingan dengan kepengurusan lainnya pada masa-masa mendatang.
Jadi kisah teman sekaligus sahabat kami itu, menebarkan hikmah kepada kita semua bahwa esensi kepemimpinan itu janganlah dinilai sebatas dari aspek fisik yang tampak mencirikan kekokohan materi kepemimpinan yang dimiliki, dengan mengabaikan aspek nonfisik seperti kejujuran, tanggung-jawab, konsisten, loyalitas dan integritas, sosok yang saya maksud mengajarkan kepada kita semua bahwa kejujuran yang bertanggung-jawab, konsisten terhadap pilihannya dengan membulatkan tekatnya menjadikan ia seorang yang patut dikagumi, dikenang sebagai pemimpin yang baik.

Dari kisah kawan sekaligus sahabat kami, dapat pula dikatakan sebagai kisah organisasi daerah yang memiliki pemimpin yang masih menganut kearifan local, untuk kisah itu dengan tema demikian munngkin akan menarik bukan ? kembali pada muatan kearifan local dari kisah itu adalah pemimpin yang memiliki kesadaran akan sebuah tatanan organisasi, menginginkan suatu perbaikan, mengedepankan sifat kejujuran (transparansi), rasa tanggung-jawab sepenuhnya, konsisten terhadap pilihan (Satukan Kata dan Perbuatan), loyalitas dan itegritas yang dilakukan demi cita-cita bersama, yang dapat mencair dam membaurkan segala perbedaan dengan perbuatan yang mendamaikan dan menentramkan setiap keberadaan yang nyata.

Bila kisah kami ketika memilih soerang pemimpin ORDA dari tempat kos-kosan ketika itu, bila coba mendekatkannya dengan pemilihan pemimpin melalui PILKADA, mungkinkah hikmah dari penggalan cerita itu dapat menjadi refleksi pemikiran untuk memilih pemimpin di daerah kelak ? maksudnya kearifan lokal itu, patut kita tunduk dengan kepentingan politik demi sebuah kekuasaan dan menafikkan nilai-nilai kejujuran (transparansi), tanggung-jawab, dan rasa kekeluargaan. Cederungkah kita mengorbankan rasa kekeluargaan demi kepentingan politik, lebih baikkah kita menjadi tim pemenangan untuk memenangkan orang lain dan mengalahkan diri kita sendiri…? atau dengan kata lain kondisi yang menyebabkan prinsip kearifan lokal lemah dihadapan kekuatan politik ataukah mestinya kemenangan hanya bagi diri kita bersama dengan rasa kekeluargaan yang utuh dan tidak terpengaruh dengan derasnya kekuasaan yang diperebutkan.

Upaya menata dan memperbaiki dan terus membenahi kondisi yang carut-marut, adalah tantangan yang berarti bagi pemimpin-pemimpin demikian pula sebagai pemimpin daerah. Pemimpin yang diharapkan dapat membawa perubahan kearah yang lebih baik lagi. Yang dapat mencairkan sekat-sekat sukuisme yang masih kental, dapat menerangkan sisi-sisi gelap dalam melihat masa depan.

Dalam beberapa waktu kedepan, PILKADA akan diselenggarakan di Kabupaten Wakatobi dan yang lebih tau jumlah harinya tinggal berapa hari lagi mungkin orang-orang yang lebih dekat dengan beliyau-baliyau, ya maklum saja sebagai tim pemenang ini kau ee…. Menjelang hajatan akbar tersebut banyak “menghamilkan” dan melahirkan opini-opini, ada yang optimis ada pula yang pesimis, begitu kuat daya pikat PILKADA sampai-sampai saja isu berbalas isu mulai digembor-gemborkan di kalangan elit tim sukses dan terkadang dunia maya juga bisa jadi lahan garapannya. Somoga kenyataan ini tidak menjadikan kita pesimis dan menjadikan intesitas harapan kita meredup atau kempes. Inilah realitas yang mesti disikapi oleh kita semua dan sudahlah saatnya wakatobi akan memilih pemimpinnya yang akan menentramkan, mensejahterakan dan mendamaikan seluruh masyarakatnya.
Selamat memilih……..


Bupati karang

Salam pemuji pemuja karangku
Dari empat pulau yang berbatu
Kau tak penah menjengukku
Bersemayam aku di tebing batu
Dari empat pulau yang berombak
kau tak pernah melihat perahuku
ku kayuh mengembang layer pencakar langit bergolak
badai halilintar berlabu
menyeret samparaja ke tebing batu

wahai pemuji karangku
yang berlayar tanpa perahu
yang tenggelam tanpa batu
matahora berlabu hanyutkan perahu
wahai pengagum karangku
bagimu piramida segitiga dunia
kau biarkan aku hilang merantau
meninggalkan hoga dan onemobaa

salam untuk penguasa lautan tebing batu
dari empat pulau yang bersatu
akankah kau menjengukku
mencari makan aku di tebing batu
engkaukah nahkoda penjuru mata angin itu
hanguskan topan jalankan perahu
hancurkan segitiga hijau
teruntuk anak-anak pulau
dari empat pulau yang bersatu
karena tebing-tebing batu

Anshari Soma

Rabu, 30 Juni 2010

Kembali ke pagi

subuh yang hening mengembun
suara azan awal membumi
gemericik hujan perlahan merimbun
atap-atap mata berselimut bumi
mengintai membawa surban
pembawa berita damai
sejada layaknya sinar pagi yang santun
menyapa hati yang sunyi
kala panas mentari menyengat kehidupan
kehangatan hati masih menyertai
biar setiap lara tetelan
biarkan tercerai berderai
menghanyut puncak lembah batuan
menemui hati nurani
yang kembali tenang pada tuhan

Kamis, 24 Juni 2010

“Setelah revolusi, ibu adalah presidenku”

Cita-cita perjuangan kemerdekaan oleh para pejuang kemerdekaan di seluruh nusantara, Mengobarkan semangat kemerdekaan untuk terbebas dari penjajahan yang terjadi atas dasar penderitaan rakyat, yang berjalan kurang lebih setengah abad lamanya. Pertumpahan darah sebagai aktualisasi perlawanan di seluruh nusantara, terjadi dengan suka rela oleh para pahlawan dengan keinginan yang kuat agar anak cucunya memperoleh warisan perubahan kualitas kehidupan walaupun nyawa menjadi taruhannya.
Segala macam aksi perjuangan yang telah diwujudkan, di apresiasikan demi kemerdekaan sejati bukan demi kekuasaan atau pemerinyahan yang menjajah kembali di negeri sendiri. Telah lama penderitaan seluruh rakyat di nusantara ini terjadi, walaupun pada saat-saat perjuangan itu belum diketahui apa isi negeri ini, setelah kemerdekaan dari perang melawan penjajahan yang berjalan. Maujud pada hati terdalam dari pejuang-pejuang kemerdekaan itu adalah hanyalah segenggam harapan agar kehidupan yang mereka hadapi kemudian adalah lebiih baik dari pada kehidupan dalam alam penjajahan. Menghadapi masa-masa sulit rakyat diseluruh nusantra, memulai perjuangannya dari yang bersifat kedaerahan dan terus berkembang menjadi perjuangan yang bersifat nasional, didasarkan pada suara hati yang sama yaitu menunjukkan jatidiri negeri untuk kemerdekaan jiwa dan kehidupan sebagai umat manusia, dan itu adalah jawaban dari perjuangan yang terus mereka kobarkan dan itu tidak menjadi sia-sia bagi masa depan negerinya.
Proklamasi kemerdeaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus, Tahun 1945, menjadi saat yang bersejarah bagai seluruh pejuang dan rakyat di seluruh nusantara. Hal ini sebagai pertanda bahwa nafas kemerdekaan yang diharapkan telah berlaku bagi para perjuangan yang sekian lama perlawanan di kobarkan oleh para pejuang itu. Segalanya berjalan dengan penuh suka cita di tengah kehidupan rakyat yang terlepas dari ketakutan akan penjajahan dan suara-suara senapan maupun meriam. Sebuah harapan baru pada pemerintahan yang baru terbentuk dan seterusnya menjadi cita-cita baru dalam perjuangan untuk mengisi kemerdekaan dengan kemerdekaan, tidak dengan motif penjajahan baru. Pada masa itu dengan slogan “kehidupan yang sejahtera adil dan makmur” di sebar luaskan di seluruh nusantara, sealanjutnya menjadi suatu yang berarti bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Paska kemerdekaan di bawah kepemimpinan presiden Sukarno, berbagai pembenahan dan penataan ketatanegaraan dilakukan, ini adalah hal yang mendesak untuk dilakukan. berbagai upaya mengisi kemerdekaan direalisasikan dimulai dari pemenuhan kebutuhan dasar rakyat diseluruh nusantara. Sejalan dengan itu dinamika yang terjadi dalam perjalanan pemerintahan yang terbentuk bukanlah hal yang tak lazim bagi sebuah bangsa yang baru, dan pada puncaknya terjadiah pemakzulan pada pemerintahan yang awal dan selanjutnya di mulai lagi dengan menjalankan pemerintahan dengan corak yang lebih baru. Bagaimana suara hati pejuang ketika pemerintahan yang baru pada saat itu ?? entahlah..
Orde baru di bawah kepemimpinan presiden Soeharto, presiden Soeharto yang di eluk-elukkan sebgai bapak pembangunan, menjadikan perubahan dalam berkehidupan ditandai dengan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Setelah program yang di luncurkan di realisasikannya, Namun yang terjadi adalah kesan kesejahtraan itu hanya berlaku bagi golongan-golongan tertentu dan tidak menjangkau hingga ke seluruh nusantara, ini di tandai dengan adanya kesenjangan yang terjadi di tengah-tengah rakyat Indonesia. Setelah 32 Tahun berkuasa menjalankan pemerintahan, dengan prinsip-prinsip kekuasaan yang di anutnya, menjadikan kesenjangan-kesenjangan semakin jauh sehingga menimbulkan pergerakan-pergerakan yang kontra dengan prinsip-prinsip yang melekat pada pemerintahan soeharto. Sehingga puncak dari pergerakan yang merupakan bagian dinamika perpolitikan yang terjadi berakibat pada lengsernya presiden soeharto dari pemerintahannya. Pada masa itu kontras dengan dinamika politik dan penguatan kekuasaan pemerintahan, sehingga nuansa kerakyatan yang sejahtra, adil dan makmur menjadi slogan yang sifatnya propaganda saja. Dan bagaimanakah dengan harapan pejuang-pejuang kemerdekaan itu ? ataukah telah berbeda suara hati para pejuang saat pra kemerdekaan dengan masa setelahnya ??.
Berakhirnya masa orde baru merekomendasikan Reformasi dengan motifasi untuk memperbaharui tatanan yang belum baik yang berlaku pada seluruh rakyat, dinamika demi dinamika politik dan penataan dimensi pemerintahan yang diharapkan mengarah pada tatanan yang lebih baik, menjadikan semangat baru bagi para reformis, namun pada perjalanannya mengalami benturan-benturan kepentingan antara satu sama lainnnya. Berbagai formula layaknya obat yang diperuntukkan bagi si sakit di berikan sebagai terapi pengobatan bagi kondisi bernegara dan berbangsa yang mengalami sakit, agar mendapatkan kesembuhannya.
Starategi dan reaksi reformasi di tularkan pada segala dimensi ketatanegaraan, mulai dari legislatif, eksekutif bahkan aparat penegak hukum di negeri ini. Perjalanan roda reformasi menunjukkan betapa kronisnya penyakit Negeri ini, yang entah kapan itu bias sembuh dan sesuai dengan cita-cita untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan makmur. hal yang dapat mengispirasi bagi para pejuang sejati, bagaimanakah suara hati para pejuang semula ? mengorek kembali filosofi bernegara, filosofi perjuangan sejati dan jati diri berbangsa mungkin adalah hal yang perlu untuk di renungkan secara bersama-sama bagi anak Negeri Ibu Pertiwi Indonesia.
Setelah lengsernya Orde baru dan berjalannya roda reformasi di negeri ini, tidak membawa perubahan bagi kemaslahatan rakyat, cobalah amati disekeliling kita kondisi kehidupan masyarakat yang masih terkung-kung dengan permasalah ekonominya dan kesejahteraannya, berapa banyak angka kemiskinan ?, berapa banyak jumlah anak jalanan ?, berapa banyak yang bekerja dengan upah yang tak layak dan seterusnya. Menilai kesejahteraan rakyat berdasarkan bangunan fisik saja, apakah kita dapat menyimpulkan kesejahteraannya ? berapa banyak upaya pemerintah yang menyentuh kebutuhan dasar kehidupan rakyatnya ?, rakyat yang mengharapkan keadilan dan perlakuan yang sama di segala sektor kehidupannya, yang di pertontonkan kepada rakyat, hsnyalah berkecamuknya ide-ide pembaharuan yang di harapkan dapat membawa kearah perubahan yang lebih baik lagi, namun itu hanyalah sebatas wacana yang digembor-gemborkan oleh kalangan elit saja. Mereka hanya mengutamakan kepentingan bagaimana agar kekuasaan dapat di pertahankan. Inilah yang muncul ketika para pejuang kemerdekaan hanya di kenal sebagai pahlawan yang berjasa, tetapi perlawanan yang berjuang melawan penjajahan tidak dihargai lagi, justru penjajahan yang baru berupaya di munculkan dengan penindasan atas nama rakyat terus di lestarikan.
Mungkinkah dengan revolusi Negeri ini akan mencapai cita-cita para pejuang sejati masa lalu ? dan bila permasalahannya kemudian, setelah revolusi terjadi adalah pada kepemimpinan, yang memang telah nyata mengalami krisis dinegeri ini, dikarenakan sosok kepemimpinan yang sejati dan karismatik di kalangan elit politik telah mati. Namun sosok kepemimpinan itu bagi masyarakat akar rumput tak pernah akan mati, sosok pemimpin itu ada pada ”ibu” di setiap keluarga kecil di Negeri ini. Selayaknya ibu adalah presiden yang mengayomi anak-anak di negeri kecilnya, ia mengetahui jeritan anak-anaknya. Hingga seluruh anak Negeri ini menemukan ibunya menjadi presiden yang selalu akan mengayomi.









Rabu, 23 Juni 2010

“Dendang Retorika Politik di panggung Pemerintahan”

Bergulirnya roda reformasi merekomendasikan pola pembangunan yang semula bersifat sentralisasi, menjadi pola pembangunan yang otonom. dimana sebelumnya pusat memiliki otoritas yang mutlak dalam mengambil keputusan dalam mengatur daerah. Dengan berlakunya otonomi daerah, maka mengalami perubahan dimana daerah otonom diberikan kekuasaan untuk mengatur daerahnya sendiri. Sistim yang terbentuk menuntut dinamika diberbagai dimensi pemerintahan, yaitu legislatif, eksekutif maupun aparat penegak hokum di Negeri ini.

Semangat reformasi tertular pada komponen-komponen lainnya di dimensi Pemerintahan dan pada pelayanan masyarakat pun demikiann. Pengembangan dan perubahan, berimbas pada terbentuknya tatanan baru dalam berbagai dimensi bernegara dan berbangsa, dan seterusnya semangat itu terus dikobarkan dan diwujudkan. Pada prosesnya dalam melakukan reformasi birokrasi dan yang perubahan-perubahan lainnya, tidaklah selalu berjalan dengan mulus, apalagi permasalahan mendasar yang menyangkut moralitas yang belum dibenahi, masih mendominasi prilaku dalam berorganisasi. hal ini menunjukkan insitas dan intensitas kedewasaan yang dimiliki oleh anak-anak negeri ini dalam berbangsa dan bernegara, dan bila direnungkann kemana akan berjalan bangsa ini dan bagai mana kedepannnya ?, maka pantaslah perbaikan ke arah yang lebih baik tetap diteruskan.

Bergulirnya roda otonomi daerah yang telah dan sedang berjalan, ditandai dengan seremonial pemilihan kepala-kepala pemerintahan daerah, dalam pemilihan kepala pemerintahan negara dan daerah melalui mekanisme pemilihan secara langsung, para politisi dengan starategi-starateginya yang bertujuan untuk mendominasi, juga menguasai dalam upaya pemenangannya, kadang tidak segan-segan menghalalkan berbagai cara. Retorika politik untuk meyakinkan halayak yang pro kepada kepentingan mereka memperlihatkan tingkah laku dagang, terlihat layaknya pasar ada penawaran dan ada permintaan, yang demikian telah menafikkan prinsip-prinsip kearifan dan mencedrai nilai-nilai kearifan lokal serta kualitas kemanusiaan. Sehingga saat sekarang ini menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat awam, yang tidak kehilangan jatidirinya, menganggap langkah-langkah politisi itu sebagai propaganda yang akan menggunakan janji-janji dan kontrak politik yang fiktif. Tidak ubahnya mafia-mafia dalam filem hongkong, kekuatan politik digunakan sebagai alat untuk menindas dan menguatkan kekuasaannya untuk menguasai lahan jajahannya, setelah tujuannya berhasil semua itu akan diingkarinya. Sehinngga muncullah pertanyaan bahwa siapakah yang arif dan bijaksana dalam berbangsa dan bernegara ??

Dampak dari otonomi daerah yang telah terjadi, hannyalah mengkaburkan nilai-nilai kearifan lokal di daerah dan melahirkan kediktatoran versi otonomi, yang seharusnya kediktatoran itu telah berakhir di Negeri ini. Sebagai sebuah realitas yang ada, dimana para penguasa-penguasa di daerah menggunakan symbol-simbol budaya untuk di adopsi dan selanjutnya dimodifikasi sedemikian rupa, menjadi simmbol penguatan kekuasaannya.

Cobalah kita amati ketika prosesi pemilihan kepala-kepala daerah khususnya dan pemilihan kepala pemerintahan Negara, akan kita saksikan bersama betapa terorganisrnya ide-ide dagang para tim sukses, dengan retorika politiknya beraksi dipanggung pemilihan pemerintahan. hal ini menjadi komuditas para tim-tim sukses untuk melakukan transaksi suara dan sekaligus transaksi kepentingannya. Komuditas ini yang menjadi jikal bakal lahirnya organisme baru yang disebut penguasa diktator, dimana penguasa ini tidak memihak pada masyarakat akar rumput, yang seharusnya tidak berlaku demikian, pada hal diskriminasi dan pengkotak-kotakan masyarakat telah diketahui setelah melalui proses yang panjang dalam berbangsa dan bernegara, disegala komponen Bangsa dan politisi di Negeri seharusnya telah mengambil hikmah, dan hal tersebut pula dapat di asumsikan bahwa seakan-akan kita mengalami ditorsi jati diri sebagai bangsa di negeri sendiri.

“Peradaban Dengan Pencitraan Seyogyanya Menuju Bangsa Yang Beradab”

Warisan peradaban Dunia dari masa lampau menghiasi cakrawala budaya yang berasal dari peradaban manusia dimuka Bumi ini, melewati massa demi massa yang pada waktu itu masih ditandai dengan komunitas-komunitas tradisional pada area tertentu dan terus-menerus berlangsung mengalami dinamika dan perkembangannya. hingga sampailah pada lahirnya tatanan yang lebih besar dari pada komunitas menjadi komunitas yang memandang perlu adanya pemerintahan yang dapat mengontrol komunitasnya. Maka dari pemikiran itulah berdirilah kerajaan-kerajaan ataupun yang sejenisnya, untuk menjalankan pemerintahan dan menjalankan eksistensi kekuasaan, Dinamika peradaban yang terjadi telah menorehkan jejak-jejak sejarah peradaban manusia di bumi ini, Sebagai bentuk eksistensi dari tatanan peradaban yang terbentuk dari masyarakat yang bercorak komunitas maupun pada tataran penguasa kerajaan, ternyata sejak lampau, mereka telah mengenal apa yang dikatakan sebagai realisasi pencitraan dirinya, bukanlah hal yang asing pencitraan itu di lahirkan, tetapi pencitraan itu adalah perwujudan serta ungkapan kesederhanaan yang dimiliki oleh sebuah peradaban. Dengan maksud yang tidak rumit yaitu demi mengekspresikan dengan apa adanya, hanya saja kerumitan itu datang ketika menilai pencitraan itu sendiri berdasarkan presepsi saja.
Pencitraan yang diekspresikan merupakan sebuah kesadaran yang klasik yang bersumber dari intuisi akan masa depan dari peradabannya, seolah ingin menitipkan cerita kepada kita semua yang mengaku berada pada masa ketika itu mereka hanyalah dikenal sebagai pendahulu, bahwa “mereka membentuk perabannya berdasarkan keberadaannya” dan seakan-akan ingin berpesan kepada yang lain yang berada dalam peradaban selanjutnya “torehkanlah peradabanmu sesuai jatidirimu sendiri. Dengan asumsi bahwa sebuah aktualisasi daya berpikir manusia tentang lingkup kehidupannya akan dapat menemukan cara untuk menjelaskan apa yang ada pada diri mereka kepada halayaknya yaitu dengan menggunakan media-media untuk membuat citra.
Penggunaan media pencitraan misalnya saja batu sebagai media pemematungan, dinding sebagai kanfas lukisan, bangunan-bangunan yang megah yang memberi kesan monumental, serta menggunakan logam dan permata yang dikenakan pada simbol-simbol kekuasaan dan seterusnya dan seterusnya. Demikianlah jejak-jejak peradaban yang ditinggalkan yang dibentuk menjadi ornament-ornamen indah yang dikemas antik dan di anggap pada massa kini adalah sebagai karya seni yang begitu fenomenal yang dapat mengispirasi bagi siapapun yang memandangnya. karya seni yang besar dihasilkan oleh sebuah peradaban dan dapat dikatakan sebagai karya seni yang mengispirasi dan fenomenal, kini sisa-sisa peninggalan peradaban itu hanya dapat kita temukan di museum-museum sejarah, tetapi bukanlah pada sisa-sisa peradaban yang ditinggalkan pada masyarakat yang berperadaban yang sejatinya, namun kenyataannya bekas-bekas peradaban yang masih ada di kaburkan dan dianggap kuno dan tidak sesuai dengan zaman sekarang pada hal itu semua di jastifikasi hanya untuk kepentingan kekuasaan belaka.
Berekspresi dengan mengukir batuan keras, logam dan sejenisnya dan juga berekspresi pada hal-hal yang lunak, dan seterusnya akan berlaku hal yang sama pada kekuasaan sebagai objeknya. Sebagai sebuah pencitraan tentunya tidak lepas dari wujud memprofokasi dan juga propaganda untuk membawa alam pemikiran orang yang menilainya berdasarkan citra yang visual yang mengingkari realitas sesungguhnya. Untuk mengenal sebuah peradaban secara utuh adalah sebuah keniscayaan, namun sebuah awal pengenalan yang cukup baik bagi peradaban adalah dengan pengenalan pada peninggalan tradisi budaya masyarakatnya yang mampu mengurangi bias penilaian pada pengenalannya.
Manifestasi dari keadaan jiwa yang merasuk dalam sikap adalah pencitraan yang merujuk pada curhat (sikap) dari bentukan peradaban, Sehingga dapat kita katakan pula setiap pencitraan yang terbentuk pada massa lampau dan masa kini serta masa yang akan datang adalah sebuah penggambaran keadaan jiwa baik itu komunitas, maupun penguasa yang telah dan akan ada. Tentulah bila di suruh memilih mana yang baik ?? keadaan jiwa yang tenang atau sebaliknya keadaan jiwa yang penuh dengan keterjajahan, tentunya kita akan memilih keadaan jiwa yang tenang bukan ?? lalu bagaimana sebuah pencitraan dapat menenangkan jiwa ?, dari pertanyaan inilah dapat menginspirasi cara berpikir kita ke arah yang bijak dan inilah yang seharusnya menjadi perenungan yang mendalam bagi yang mengaku memiliiki kuasa dan penguasa-penguasa di negerimu. Bagaimana pencitraannya dapat menjadi solusi yang menjangkau permasalahan yang sangat mendasar yaitu ketenangaan jiwa bagi rakyatnya itu ??.
Realitas peradaban masa lalu yang didalamnya mengalami pencitraan berjalan secara alamia, yang sifatnya hanyalah sebagai ekspresi seni dan jatidirinya, berbeda dengan masa kini yang menggunakan pencitraan untuk tujuan melindungi dan menguatkan kekuasaan yang memihak pada kaum-kaum tertentu saja, andai saja pencitraan digunakan secara arif untuk peradaban yang beradap di seluruh Negeri, maka ketenangan jiwa rakyatnya akan membahana hingga menjadi ketenangan jiwa negerinya yaitu kemakmuran peradabannya. Ataukah pencitraan adalah kontras dengan ke tidak mampuan mengayomi, dari sebuah komunitas atau penguasa atau yang di percayakan sebagai pemerintah itu…??





`

Nurani yang beradab bagi Ibu pertiwi

Sejarah peradaban yang panjang tlah ditorehkan oleh manusia di muka bumi ini, Sejarah peradaban kehidupan manusia di dunia menjadi bagian yang penting dalam berkehidupan. Berdasarkan Waktu demi waktu yang menandai kelahirannya, pencapaian produktif kearifan-kearifan terus mengalami perkembangannya. Ataupun berdasarkan penamaan-penamaan berdasarkan waktunya, misalkan Masehi, sebelum Masehi, Dinasti, Rezim, Prasejarah, Zaman Purba, Zaman Kerajaan, Zaman Kesultanan, Orde lama, Orde baru, Reformasi, Revolusi dan seterusnya. Seluruhnya menjadi bagian yang panjang dari perjalanan peradaban di muka bumi ini.
Silih bergantinya masa, silih bergantinya ulama, silih bergantinya teladan, silih bergantinya Pemimpin-Pemimpin, Raja-Raja, Sultan-Sultan, Presiden, Perdanamenteri dan seterusnya. Betapa sangat berlimpahya warisan peradaban manusia di muka bumi ini bukan ?, bila kearifan telah membahana hingga ke segenap nurani kemanusiaan, ini juga dikatakan bagian dari Rahmatan lilalamin itu, bagi mereka dari kisah demi kisah, banyaklah hal yang dapat dipelajari untuk mengilhami pengenalannya, perbaikan kearah masa depan yang lebih berkualitas, demi ketenangan jiwa bagi seluruh penghuni bumi ini. Maka berdasarkan pelajaran-pelajaran yang dapat di petik hikmahnya dari kisah peradaban itu, maka Mereka akan membangun peradaban manusia dan dirinya sendiri berdasarkan nurani yang sejatinya dikatakan rahmatan lilalami tersebut..
Pengingkaran kebenaran yang muncul di permukaan lautan peradaban manusia ibarat buih di lautan yang sebenarnya, dan perumpamaan lautan itu adalah kebenaran., buih itu akan tenggelam walau sesering mungkin muncul kepermukaan. Coba kita merujuk bersama-sama, bukankah buih itu pernah muncul di permukaan lautan peradabann manusia sebelumnya. dari kisah sejarah peradaban manusia bukankah kemenangan itu bersama orang-orang yang memegang teguh kearifan dalam berkemanusiaan ?.
Kapankah tibanya massa itu ?? dimana nurani kemanusiaan lebih didasari kearifan dalam peradaban manusia, betapa indahnya negeri itu. Biila kita melihat kedalam diri bangsa kita yang tercinta ini, Negeri Indonesia yang kita cintai ini, mungkin menjadi prioritas menyebarkan semangat kearifan itu, yang sekian lama terpendam. Kearifan itu telah banyak dilupakan oleh anak Negeri yang namanya Indonesia. Mungkin anak Negeri ini banyak disuguhkan makanan yang memperdaya saudaranya sendiri, ibu pertiwi pun tanpa diketahuinya menangis. Sehingga antara sesama Anak Negeri ini berlomba-lomba dalam keserakahan kakuasaan yang menyombongkan diri, golongannnya, partainya, sukunya, atau yang lainnya. Tak tanggung-tanggung kedurhakaan akan amanat ibu pertiwi, telah nyata, sehingga hanya memberikan tontonan yang menggelikan bagi masyarakat akar rumput yang menganut ajaran kearifan sejati. Sehingga muncullah perang opini bahwa pemerintah itu lupa diri, lupa akan jati dirinya hingga hilang nurani kemanusiaanya,. Lupa rakyatnya. Sehingga demikian siapakah yang memegang kearifan itu semestinya ? entahlah apa yang terjadi di Negeri kita ini.
Ingatkah kita pada kisah klasik Maling Kundang yang menjadi kisah fenomenal dan begitu di kenal di nusantara ? ia durhaka pada ibunya sendiri,. hingga ia di kutuk menjadi Batu. Dan pula Bila kita semua mencoba mengilhami kisah sejarah yang melegenda yaitu kisah Nabi Musa as dan Firaun. Betapa kedurhakaan Firaun pada Tuhan Nabi Musa as hingga ia di tenggelamkan dan mayatnya menjadi prasasti untuk mengingatkan akan kedurhakaan itu. Wahai anak Negeri yang menjabat di seluruh Negeri ingatlah akan kisah ini semoga dapat mengilhami kita semua dalam menjalankan kehidupan ini.

Jumat, 29 Januari 2010

“Rasa”

Setiap keberadaan slalu ada “rasa”
Mustahil… segala yang ada tanpa rasa
Terasingpun sedang mendulang rasa
Setelah bertemu dan berpisah menuai rasa
Ada yang mengingat dan juga melupakannya
Seperti berkaca di lautan rasa
Ada yang meluapkan rasa
Ada yang menengelamkan rasanya
Ada yang menghayutkan rasanya
Dan biarkan berlalu bersama waktu
Hingga kepenghujung perasaannya

Wahai Nahkoda pembawa rasa itu
Engkau Mengarungi lautan rasa
Terombang-ambing di samudera rasa
Tidak percuma yang kau lakukan
Demi perasaanmu yang kau inginkan
Teruntuk pelabuhan rasa yang sebenarnya
Yang sebenarnya ketenangan jiwamu