Selasa, 22 Desember 2009

Presepsi Akan Kemerdekaan

Kemerdekaan berislam adalah kembali pada Allah merupakan penyerahan sepenuhnya pada Allah dengan segenap keikhlasan hati. Cobalah kita perhatikan di lingkungan sekitar kita, dimana dalam kehidupan beragama sebagai umat islam, betapa banyak yang melakukan ibadah atau amalan (syariat) kongkritnya dalam menunaikan shalat, berpuasa,zakat,sedekah mengharapkan pujian, agar dia dapat menyandang predikat alim, dermawan dan seterusnya. Mereka memposisikan predikat dari sesama mahluk di posisi yang tinggi bukan kepada Tuhan YME, mereka berupaya sekuat mungkin dengan mengorbankan potensi-potensi yang dimilikinya, hanya untuk mendapatkan pengakuan dari keluarga,istri,anak, kerabat, teman dan partai politiknya sehingga dikagumi dan dieluk-elukkan oleh banyak orang.
Mungkin saja mereka lupa akan kemerdekaan dalam berIslam sebagaimana mestinya, sehingga mereka tidak merasakan kenyamanan dan ketenangan dalam menjalankan ibadahnya karena selalu di bayang-bayangi dengan ambisi dan kepentingannya membiarkan kehidupannya dalam penjajahan demi predikat yang akan disandangnya, penjajahan yang akan berlarut-larut dan pada akhirnya yang ditemukannya adalah kegagalan dan kerugian. Atau dengan kata lain ibadah yang dilakukannya hanya sebagai ritual belaka atau rutinitas yang harus dilakukan. Ibadah yang dilakukannya tidak berdasarkan pada penyerahan sepenuhnya pada Allah SWT dengan segenap keikhlasan dan ketulusan hati dalam menjalankannya. Sudah tentu jika menjalankan ibadah itu dengan semestinya untuk kemerdekaan berislam dalam konteks tersebut justru sebaliknya lihat apa yang akan terjadi adalah kebaikan.

Kemerdekaan hati adalah terbebasnya hati dari belenggu-belenggu yang menodai kesucian hati sanubari/nurani dalam ber-kehidupan. Cobalah kita perhatikan lagi di lingkungan sekitar kita, betapa banyak yang menjalani kehidupan ini dengan mengabaikan kemerdekaan hatinya. Membiarkan hatinya terjajah, terpenjara dan terbelenggu dengan belenggu-belenggu hatinya. Betapa banyak orang yang mengesampingkan hal tersebut, hinga menjauhkan mereka dari ketenangan dan suara hati sanubari dan nurani sebagai fitrah manusia.
Belenggu-belenggu hati yang dimaksud dalam uraian tersebut adalah berbagai penyakit hati yang terdapat dalam hati manusia. Diantaranya adalah perasaan dengki,iri,riya,sombong,ingkar,munafik,juga dengan presepsi, pengaruh pengalaman, keterbatasan penilaian indra dan seterusnya. Dengan menempatkan belenggu-belenggu hati tersebut sebagai dasar penilaiaannya, mereka mengambil keputusan dan bertindak dan menafikkan sisi-sisi kemanusian, bertindak ceroboh, semena-mena dan lainnya, ini hanya menimbulkan kekacauan dan pertentangan dan jauh dari kedamaian. Kemerdekaa hati yang berdasarkan pada kesucian hati sebagai sumber suara hati yang terdalam dan memiliki esensi kebaikan pada manusia dalam berkehidupan, seharusnya mendapat posisi yang istimewa dalam menjalani kehidupan ini sehingga kedamaian dan ketenangan hati sebagai buah dari kemerdekaan hati menjadikan kita pribadi-pribadi yang memiliki kebijaksanaan dan kearifan dalam menjalani kehidupan ini.

Kemerdekaan hidup adalah kembali pada hati sanubari dan jiwa yang tenang seperti semulanya sebagai karunia Tuhan YME. Coba kita menilai kembali tentang kemerdekaan hidup kita, kaitannya sebagai mana uraian di atas mengenai kemerdekaan hidup. Sudah sampai dimana ketenangan hidup kita dalam segala aspeknya ? apakah yang kita lakukan sekarang mengaktual pada ketenangan jiwa dan hati kita? Bagaimanakah memperoleh kembali ketenangan jiwa kita ?, memang tidaklah mudah menjawab pertanyaan ini. Coba kita amati di sekeliling kita, banyak yang mengira untuk mendapatkan ketenangan jiwa dan hati itu sumbernya dari kekayaan, jabatan, napsu syahwat, banyaknya budak yang dimiliki, banyaknya para wanita cantik yang mengelilinginya, dan ketenaran dan populariotas, hal ini justru menjadikan mereka terjajah bukan ?, mereka memuja-muja dan mendambakan akan hal-hal tersebut dan meyakini kebahagian atau ketenangan jiwa akan mereka peroleh namun hal ini menjadikan kegelisahan dan kekhawatiran yang panjang dalam hati dan mempengaruhi jiwanya, sehingga selalu merasakan kehausan akan ketenangan jiwanya.
Intensitas kemerdekaan hidup kita tercapaikan apabila kualitas hidup yakni ketenangan jiwa dan ketentraman hati telah dapat kita rasakan dalam kenyataan berkehidupan kita dalam segala aspeknya, hal ini menjadi parameter kesuksesan hidup yang sebenarnya, bukan pada seberapa besar kepuasan kita dan ketenangan hati kita bila mendapatkan jabatan yang tinggi, uang yang banyak, kekayaan, disegani, istri yang cantik, mobil yang mewah, rumah yang mewah, dan yang lainnya, tetapi dengan segala kemampuan yang kita miliki itu kita dapat melakukan perbuatan yang bijaksana dan arif dalam mengelolanya. Hal yang menjadi urgen dari kemerdekaan hidup disini adalah keadaan jiwa dan hati yang tenang, yang menjadi tujuan kehidupan itu sendiri. Tentunya kemerdekaan hidup disini adalah segala yang bersumber dan pengembalian sepenuhnya pada Tuhan YME, yang merupakan tunjukan dari yang maha berkehendak yaitu Allah SWT, Yang mendasari dalam segala aspek berkehidupan kita.

Kemerdekaan sosial dan ekonomi adalah saling berbagi dan kasih-sayang diantara sesama manusia, sebagai hamba Tuhan YME. Merujuk pada pengertian kemerdekaan diatas, cobalah kita menilik pada kenyataan kehidupan yang terdapat di sekitar kita, dapatkah kita merasakan kemerdekaan yang dimaksud ?, kenyataan demi kenyataan hidup yang ada di sekeliling kita apakah telah relevan dengan pengertian diatas ? kemerdekanan seperti yang dikemukakan sebelumnya, bukanlah sekedar arti kata namun merujuk pada pemahaman yang terilhami dari suara-suara hati terdalam yang dimiliki oleh seluruh manusia, bukan pada hati daging di jasad tubuh manusia itu sendiri. Sehingga yang dapat dikatakan merdeka adalah bagi orang-orang yang dapat mendengarkan dan melakukan apa yang maujud pada suara hatinya, memang hal seperti ini tidak mudah untuk dirasakan dan dilakukan kecuali bagi orang-orang yang dapat menyadarinya dan mengalaminya atau dapat mengambil hikmah dari apa-apa yang dialami dalam perjalanan hidupnya dengan penuh keikhlasan.
Cobalah kita amati, mulai dari diri kita dan apa yang terdapat dilingkungan kita, apakah keberadaannya telah merdeka ? atau masih dalam keadaan terjajah ?, jawaban kemerdekaan itu, apakah diri kita suka untuk berbagi, suka menolong, suka membantu, suka memanjangkan cahaya pertolongan yang kita mampu untuk orang lain dengan penuh kesadaran dan keikhlasan ??, atau justru sebaliknya kita masih disibukkan dengan kegemaran mencari-cari kesalahan orang lain, suka mempersulit keadaan orang lain, suka menzalimi orang lain, suka membunuh karakter orang lain, suka menyakiti orang lain atau yang lainnya. Bukankah telah nyata apa yang menjadi kerusakan dan kebaikan dari kemerdekaan dan keterjajahan itu dalam kehidupan kita. Dapat pula kita melihat dari lingkungan kita, apakah masih ada orang-orang yang memiliki kemerdekaan itu ?. setidaknya semampu kita, marilah kita menyadari akan kemerdekaan ini, betapa indahnya hubungan dalam kehidupan ini yang dihiasi dengan kasih-sayang, saling menolong, membantu, berbagi antara sesama, yang mana dari ini semua adalah bagian dari rahmat Tuhan YME. Dan janganlah keterjajahan yang selalu menjadikan amarah dalam dada kita menjadikan kita orang-orang yang merendahkan diri kita di hadapan mahluk Tuhan lainnya.

Kemerdekaan berbangsa adalah terbebasnya sebuah negeri dari pemimpin-pemimpin yang zalim. Sebgai mana yang terdapat pada negeri-negeri yang terjajah itu, mereka memiliki pemimpin-pemimpin yang zalim, pemimpin-pemimpin itu mezalimi rakyatnya dengan mengajak mereka untuk menghamba kepadanya, memuja-muja kepadanya, mengagung-agungkannya. Pemimpin-pemimpin yang zalim itu lebih senang melihat penderitaan dan kekacauan yang melanda negerinya, suka mengambing hitamkan kambing yang putih, pemimpin itu tidak segan-segan mengorbankan rakyatnya dan yang lainnya demi popularitas atau tahta yang menjadi singgasananya, pemimpin-pemimpin yang zalim itu gemar melakukan perbuatan yang berlebih-lebihan yang mendurhakai fitrahnya.
Cobalah kita amati pemimpin-pemimpin negeri kita ini? Kedudkan dan jabatan yang diembannya menjadikan mereka sebagai teladan atau sebagai kriminal yang harus kita nafikkan dalam menata prilaku kita. Mereka yang menduduki jabatan sebagai pemimpin negeri, mestinya menjadi teladan dan contoh dan menjadi pahlawan yang sebenar-benarnya bagi negerinya, jabatannya tidak terlalu mempengaruhi ketenangan hati dan jiwanya dalam beribadah dan memimpin gembalanya. Namun kenyataan demi kenyataan dari zaman ke zaman masih saja ada pemimpin-pemimpin negeri yang tergiur dengan kekayaan, kemewahan, wanita dan tahta sehingga mengorbankan kearifan dan rasa bijaksana pada diri mereka dan pada akhir kepemimpinannya di kenang sebagai pemimpin yang zalim. Pemimpin itu mengambil hak-hak yang bukan haknya demikekayaannnya, mengorbankan kepemimpinan yang jujur untuk memperoleh kemewahan dan tahta, dan tidak segan-segan melakukan penzaliman dan kezaliman dan inilah perbuatan yang melampoi batas dan berlebih-lebihan itu yang akan mendatangkan kemudharatan.
Marilah kita menjadi pemimpin yang arif dan bijaksana, menjadi pemimpin-pemimpin yang baik bagi diri kita, keluarga kita. Dan pemimpin yang baik untuk negeri kita yaitu pemimpin yang melawan kezaliman.