Rabu, 30 Juni 2010

Kembali ke pagi

subuh yang hening mengembun
suara azan awal membumi
gemericik hujan perlahan merimbun
atap-atap mata berselimut bumi
mengintai membawa surban
pembawa berita damai
sejada layaknya sinar pagi yang santun
menyapa hati yang sunyi
kala panas mentari menyengat kehidupan
kehangatan hati masih menyertai
biar setiap lara tetelan
biarkan tercerai berderai
menghanyut puncak lembah batuan
menemui hati nurani
yang kembali tenang pada tuhan

Kamis, 24 Juni 2010

“Setelah revolusi, ibu adalah presidenku”

Cita-cita perjuangan kemerdekaan oleh para pejuang kemerdekaan di seluruh nusantara, Mengobarkan semangat kemerdekaan untuk terbebas dari penjajahan yang terjadi atas dasar penderitaan rakyat, yang berjalan kurang lebih setengah abad lamanya. Pertumpahan darah sebagai aktualisasi perlawanan di seluruh nusantara, terjadi dengan suka rela oleh para pahlawan dengan keinginan yang kuat agar anak cucunya memperoleh warisan perubahan kualitas kehidupan walaupun nyawa menjadi taruhannya.
Segala macam aksi perjuangan yang telah diwujudkan, di apresiasikan demi kemerdekaan sejati bukan demi kekuasaan atau pemerinyahan yang menjajah kembali di negeri sendiri. Telah lama penderitaan seluruh rakyat di nusantara ini terjadi, walaupun pada saat-saat perjuangan itu belum diketahui apa isi negeri ini, setelah kemerdekaan dari perang melawan penjajahan yang berjalan. Maujud pada hati terdalam dari pejuang-pejuang kemerdekaan itu adalah hanyalah segenggam harapan agar kehidupan yang mereka hadapi kemudian adalah lebiih baik dari pada kehidupan dalam alam penjajahan. Menghadapi masa-masa sulit rakyat diseluruh nusantra, memulai perjuangannya dari yang bersifat kedaerahan dan terus berkembang menjadi perjuangan yang bersifat nasional, didasarkan pada suara hati yang sama yaitu menunjukkan jatidiri negeri untuk kemerdekaan jiwa dan kehidupan sebagai umat manusia, dan itu adalah jawaban dari perjuangan yang terus mereka kobarkan dan itu tidak menjadi sia-sia bagi masa depan negerinya.
Proklamasi kemerdeaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus, Tahun 1945, menjadi saat yang bersejarah bagai seluruh pejuang dan rakyat di seluruh nusantara. Hal ini sebagai pertanda bahwa nafas kemerdekaan yang diharapkan telah berlaku bagi para perjuangan yang sekian lama perlawanan di kobarkan oleh para pejuang itu. Segalanya berjalan dengan penuh suka cita di tengah kehidupan rakyat yang terlepas dari ketakutan akan penjajahan dan suara-suara senapan maupun meriam. Sebuah harapan baru pada pemerintahan yang baru terbentuk dan seterusnya menjadi cita-cita baru dalam perjuangan untuk mengisi kemerdekaan dengan kemerdekaan, tidak dengan motif penjajahan baru. Pada masa itu dengan slogan “kehidupan yang sejahtera adil dan makmur” di sebar luaskan di seluruh nusantara, sealanjutnya menjadi suatu yang berarti bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Paska kemerdekaan di bawah kepemimpinan presiden Sukarno, berbagai pembenahan dan penataan ketatanegaraan dilakukan, ini adalah hal yang mendesak untuk dilakukan. berbagai upaya mengisi kemerdekaan direalisasikan dimulai dari pemenuhan kebutuhan dasar rakyat diseluruh nusantara. Sejalan dengan itu dinamika yang terjadi dalam perjalanan pemerintahan yang terbentuk bukanlah hal yang tak lazim bagi sebuah bangsa yang baru, dan pada puncaknya terjadiah pemakzulan pada pemerintahan yang awal dan selanjutnya di mulai lagi dengan menjalankan pemerintahan dengan corak yang lebih baru. Bagaimana suara hati pejuang ketika pemerintahan yang baru pada saat itu ?? entahlah..
Orde baru di bawah kepemimpinan presiden Soeharto, presiden Soeharto yang di eluk-elukkan sebgai bapak pembangunan, menjadikan perubahan dalam berkehidupan ditandai dengan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Setelah program yang di luncurkan di realisasikannya, Namun yang terjadi adalah kesan kesejahtraan itu hanya berlaku bagi golongan-golongan tertentu dan tidak menjangkau hingga ke seluruh nusantara, ini di tandai dengan adanya kesenjangan yang terjadi di tengah-tengah rakyat Indonesia. Setelah 32 Tahun berkuasa menjalankan pemerintahan, dengan prinsip-prinsip kekuasaan yang di anutnya, menjadikan kesenjangan-kesenjangan semakin jauh sehingga menimbulkan pergerakan-pergerakan yang kontra dengan prinsip-prinsip yang melekat pada pemerintahan soeharto. Sehingga puncak dari pergerakan yang merupakan bagian dinamika perpolitikan yang terjadi berakibat pada lengsernya presiden soeharto dari pemerintahannya. Pada masa itu kontras dengan dinamika politik dan penguatan kekuasaan pemerintahan, sehingga nuansa kerakyatan yang sejahtra, adil dan makmur menjadi slogan yang sifatnya propaganda saja. Dan bagaimanakah dengan harapan pejuang-pejuang kemerdekaan itu ? ataukah telah berbeda suara hati para pejuang saat pra kemerdekaan dengan masa setelahnya ??.
Berakhirnya masa orde baru merekomendasikan Reformasi dengan motifasi untuk memperbaharui tatanan yang belum baik yang berlaku pada seluruh rakyat, dinamika demi dinamika politik dan penataan dimensi pemerintahan yang diharapkan mengarah pada tatanan yang lebih baik, menjadikan semangat baru bagi para reformis, namun pada perjalanannya mengalami benturan-benturan kepentingan antara satu sama lainnnya. Berbagai formula layaknya obat yang diperuntukkan bagi si sakit di berikan sebagai terapi pengobatan bagi kondisi bernegara dan berbangsa yang mengalami sakit, agar mendapatkan kesembuhannya.
Starategi dan reaksi reformasi di tularkan pada segala dimensi ketatanegaraan, mulai dari legislatif, eksekutif bahkan aparat penegak hukum di negeri ini. Perjalanan roda reformasi menunjukkan betapa kronisnya penyakit Negeri ini, yang entah kapan itu bias sembuh dan sesuai dengan cita-cita untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan makmur. hal yang dapat mengispirasi bagi para pejuang sejati, bagaimanakah suara hati para pejuang semula ? mengorek kembali filosofi bernegara, filosofi perjuangan sejati dan jati diri berbangsa mungkin adalah hal yang perlu untuk di renungkan secara bersama-sama bagi anak Negeri Ibu Pertiwi Indonesia.
Setelah lengsernya Orde baru dan berjalannya roda reformasi di negeri ini, tidak membawa perubahan bagi kemaslahatan rakyat, cobalah amati disekeliling kita kondisi kehidupan masyarakat yang masih terkung-kung dengan permasalah ekonominya dan kesejahteraannya, berapa banyak angka kemiskinan ?, berapa banyak jumlah anak jalanan ?, berapa banyak yang bekerja dengan upah yang tak layak dan seterusnya. Menilai kesejahteraan rakyat berdasarkan bangunan fisik saja, apakah kita dapat menyimpulkan kesejahteraannya ? berapa banyak upaya pemerintah yang menyentuh kebutuhan dasar kehidupan rakyatnya ?, rakyat yang mengharapkan keadilan dan perlakuan yang sama di segala sektor kehidupannya, yang di pertontonkan kepada rakyat, hsnyalah berkecamuknya ide-ide pembaharuan yang di harapkan dapat membawa kearah perubahan yang lebih baik lagi, namun itu hanyalah sebatas wacana yang digembor-gemborkan oleh kalangan elit saja. Mereka hanya mengutamakan kepentingan bagaimana agar kekuasaan dapat di pertahankan. Inilah yang muncul ketika para pejuang kemerdekaan hanya di kenal sebagai pahlawan yang berjasa, tetapi perlawanan yang berjuang melawan penjajahan tidak dihargai lagi, justru penjajahan yang baru berupaya di munculkan dengan penindasan atas nama rakyat terus di lestarikan.
Mungkinkah dengan revolusi Negeri ini akan mencapai cita-cita para pejuang sejati masa lalu ? dan bila permasalahannya kemudian, setelah revolusi terjadi adalah pada kepemimpinan, yang memang telah nyata mengalami krisis dinegeri ini, dikarenakan sosok kepemimpinan yang sejati dan karismatik di kalangan elit politik telah mati. Namun sosok kepemimpinan itu bagi masyarakat akar rumput tak pernah akan mati, sosok pemimpin itu ada pada ”ibu” di setiap keluarga kecil di Negeri ini. Selayaknya ibu adalah presiden yang mengayomi anak-anak di negeri kecilnya, ia mengetahui jeritan anak-anaknya. Hingga seluruh anak Negeri ini menemukan ibunya menjadi presiden yang selalu akan mengayomi.









Rabu, 23 Juni 2010

“Dendang Retorika Politik di panggung Pemerintahan”

Bergulirnya roda reformasi merekomendasikan pola pembangunan yang semula bersifat sentralisasi, menjadi pola pembangunan yang otonom. dimana sebelumnya pusat memiliki otoritas yang mutlak dalam mengambil keputusan dalam mengatur daerah. Dengan berlakunya otonomi daerah, maka mengalami perubahan dimana daerah otonom diberikan kekuasaan untuk mengatur daerahnya sendiri. Sistim yang terbentuk menuntut dinamika diberbagai dimensi pemerintahan, yaitu legislatif, eksekutif maupun aparat penegak hokum di Negeri ini.

Semangat reformasi tertular pada komponen-komponen lainnya di dimensi Pemerintahan dan pada pelayanan masyarakat pun demikiann. Pengembangan dan perubahan, berimbas pada terbentuknya tatanan baru dalam berbagai dimensi bernegara dan berbangsa, dan seterusnya semangat itu terus dikobarkan dan diwujudkan. Pada prosesnya dalam melakukan reformasi birokrasi dan yang perubahan-perubahan lainnya, tidaklah selalu berjalan dengan mulus, apalagi permasalahan mendasar yang menyangkut moralitas yang belum dibenahi, masih mendominasi prilaku dalam berorganisasi. hal ini menunjukkan insitas dan intensitas kedewasaan yang dimiliki oleh anak-anak negeri ini dalam berbangsa dan bernegara, dan bila direnungkann kemana akan berjalan bangsa ini dan bagai mana kedepannnya ?, maka pantaslah perbaikan ke arah yang lebih baik tetap diteruskan.

Bergulirnya roda otonomi daerah yang telah dan sedang berjalan, ditandai dengan seremonial pemilihan kepala-kepala pemerintahan daerah, dalam pemilihan kepala pemerintahan negara dan daerah melalui mekanisme pemilihan secara langsung, para politisi dengan starategi-starateginya yang bertujuan untuk mendominasi, juga menguasai dalam upaya pemenangannya, kadang tidak segan-segan menghalalkan berbagai cara. Retorika politik untuk meyakinkan halayak yang pro kepada kepentingan mereka memperlihatkan tingkah laku dagang, terlihat layaknya pasar ada penawaran dan ada permintaan, yang demikian telah menafikkan prinsip-prinsip kearifan dan mencedrai nilai-nilai kearifan lokal serta kualitas kemanusiaan. Sehingga saat sekarang ini menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat awam, yang tidak kehilangan jatidirinya, menganggap langkah-langkah politisi itu sebagai propaganda yang akan menggunakan janji-janji dan kontrak politik yang fiktif. Tidak ubahnya mafia-mafia dalam filem hongkong, kekuatan politik digunakan sebagai alat untuk menindas dan menguatkan kekuasaannya untuk menguasai lahan jajahannya, setelah tujuannya berhasil semua itu akan diingkarinya. Sehinngga muncullah pertanyaan bahwa siapakah yang arif dan bijaksana dalam berbangsa dan bernegara ??

Dampak dari otonomi daerah yang telah terjadi, hannyalah mengkaburkan nilai-nilai kearifan lokal di daerah dan melahirkan kediktatoran versi otonomi, yang seharusnya kediktatoran itu telah berakhir di Negeri ini. Sebagai sebuah realitas yang ada, dimana para penguasa-penguasa di daerah menggunakan symbol-simbol budaya untuk di adopsi dan selanjutnya dimodifikasi sedemikian rupa, menjadi simmbol penguatan kekuasaannya.

Cobalah kita amati ketika prosesi pemilihan kepala-kepala daerah khususnya dan pemilihan kepala pemerintahan Negara, akan kita saksikan bersama betapa terorganisrnya ide-ide dagang para tim sukses, dengan retorika politiknya beraksi dipanggung pemilihan pemerintahan. hal ini menjadi komuditas para tim-tim sukses untuk melakukan transaksi suara dan sekaligus transaksi kepentingannya. Komuditas ini yang menjadi jikal bakal lahirnya organisme baru yang disebut penguasa diktator, dimana penguasa ini tidak memihak pada masyarakat akar rumput, yang seharusnya tidak berlaku demikian, pada hal diskriminasi dan pengkotak-kotakan masyarakat telah diketahui setelah melalui proses yang panjang dalam berbangsa dan bernegara, disegala komponen Bangsa dan politisi di Negeri seharusnya telah mengambil hikmah, dan hal tersebut pula dapat di asumsikan bahwa seakan-akan kita mengalami ditorsi jati diri sebagai bangsa di negeri sendiri.

“Peradaban Dengan Pencitraan Seyogyanya Menuju Bangsa Yang Beradab”

Warisan peradaban Dunia dari masa lampau menghiasi cakrawala budaya yang berasal dari peradaban manusia dimuka Bumi ini, melewati massa demi massa yang pada waktu itu masih ditandai dengan komunitas-komunitas tradisional pada area tertentu dan terus-menerus berlangsung mengalami dinamika dan perkembangannya. hingga sampailah pada lahirnya tatanan yang lebih besar dari pada komunitas menjadi komunitas yang memandang perlu adanya pemerintahan yang dapat mengontrol komunitasnya. Maka dari pemikiran itulah berdirilah kerajaan-kerajaan ataupun yang sejenisnya, untuk menjalankan pemerintahan dan menjalankan eksistensi kekuasaan, Dinamika peradaban yang terjadi telah menorehkan jejak-jejak sejarah peradaban manusia di bumi ini, Sebagai bentuk eksistensi dari tatanan peradaban yang terbentuk dari masyarakat yang bercorak komunitas maupun pada tataran penguasa kerajaan, ternyata sejak lampau, mereka telah mengenal apa yang dikatakan sebagai realisasi pencitraan dirinya, bukanlah hal yang asing pencitraan itu di lahirkan, tetapi pencitraan itu adalah perwujudan serta ungkapan kesederhanaan yang dimiliki oleh sebuah peradaban. Dengan maksud yang tidak rumit yaitu demi mengekspresikan dengan apa adanya, hanya saja kerumitan itu datang ketika menilai pencitraan itu sendiri berdasarkan presepsi saja.
Pencitraan yang diekspresikan merupakan sebuah kesadaran yang klasik yang bersumber dari intuisi akan masa depan dari peradabannya, seolah ingin menitipkan cerita kepada kita semua yang mengaku berada pada masa ketika itu mereka hanyalah dikenal sebagai pendahulu, bahwa “mereka membentuk perabannya berdasarkan keberadaannya” dan seakan-akan ingin berpesan kepada yang lain yang berada dalam peradaban selanjutnya “torehkanlah peradabanmu sesuai jatidirimu sendiri. Dengan asumsi bahwa sebuah aktualisasi daya berpikir manusia tentang lingkup kehidupannya akan dapat menemukan cara untuk menjelaskan apa yang ada pada diri mereka kepada halayaknya yaitu dengan menggunakan media-media untuk membuat citra.
Penggunaan media pencitraan misalnya saja batu sebagai media pemematungan, dinding sebagai kanfas lukisan, bangunan-bangunan yang megah yang memberi kesan monumental, serta menggunakan logam dan permata yang dikenakan pada simbol-simbol kekuasaan dan seterusnya dan seterusnya. Demikianlah jejak-jejak peradaban yang ditinggalkan yang dibentuk menjadi ornament-ornamen indah yang dikemas antik dan di anggap pada massa kini adalah sebagai karya seni yang begitu fenomenal yang dapat mengispirasi bagi siapapun yang memandangnya. karya seni yang besar dihasilkan oleh sebuah peradaban dan dapat dikatakan sebagai karya seni yang mengispirasi dan fenomenal, kini sisa-sisa peninggalan peradaban itu hanya dapat kita temukan di museum-museum sejarah, tetapi bukanlah pada sisa-sisa peradaban yang ditinggalkan pada masyarakat yang berperadaban yang sejatinya, namun kenyataannya bekas-bekas peradaban yang masih ada di kaburkan dan dianggap kuno dan tidak sesuai dengan zaman sekarang pada hal itu semua di jastifikasi hanya untuk kepentingan kekuasaan belaka.
Berekspresi dengan mengukir batuan keras, logam dan sejenisnya dan juga berekspresi pada hal-hal yang lunak, dan seterusnya akan berlaku hal yang sama pada kekuasaan sebagai objeknya. Sebagai sebuah pencitraan tentunya tidak lepas dari wujud memprofokasi dan juga propaganda untuk membawa alam pemikiran orang yang menilainya berdasarkan citra yang visual yang mengingkari realitas sesungguhnya. Untuk mengenal sebuah peradaban secara utuh adalah sebuah keniscayaan, namun sebuah awal pengenalan yang cukup baik bagi peradaban adalah dengan pengenalan pada peninggalan tradisi budaya masyarakatnya yang mampu mengurangi bias penilaian pada pengenalannya.
Manifestasi dari keadaan jiwa yang merasuk dalam sikap adalah pencitraan yang merujuk pada curhat (sikap) dari bentukan peradaban, Sehingga dapat kita katakan pula setiap pencitraan yang terbentuk pada massa lampau dan masa kini serta masa yang akan datang adalah sebuah penggambaran keadaan jiwa baik itu komunitas, maupun penguasa yang telah dan akan ada. Tentulah bila di suruh memilih mana yang baik ?? keadaan jiwa yang tenang atau sebaliknya keadaan jiwa yang penuh dengan keterjajahan, tentunya kita akan memilih keadaan jiwa yang tenang bukan ?? lalu bagaimana sebuah pencitraan dapat menenangkan jiwa ?, dari pertanyaan inilah dapat menginspirasi cara berpikir kita ke arah yang bijak dan inilah yang seharusnya menjadi perenungan yang mendalam bagi yang mengaku memiliiki kuasa dan penguasa-penguasa di negerimu. Bagaimana pencitraannya dapat menjadi solusi yang menjangkau permasalahan yang sangat mendasar yaitu ketenangaan jiwa bagi rakyatnya itu ??.
Realitas peradaban masa lalu yang didalamnya mengalami pencitraan berjalan secara alamia, yang sifatnya hanyalah sebagai ekspresi seni dan jatidirinya, berbeda dengan masa kini yang menggunakan pencitraan untuk tujuan melindungi dan menguatkan kekuasaan yang memihak pada kaum-kaum tertentu saja, andai saja pencitraan digunakan secara arif untuk peradaban yang beradap di seluruh Negeri, maka ketenangan jiwa rakyatnya akan membahana hingga menjadi ketenangan jiwa negerinya yaitu kemakmuran peradabannya. Ataukah pencitraan adalah kontras dengan ke tidak mampuan mengayomi, dari sebuah komunitas atau penguasa atau yang di percayakan sebagai pemerintah itu…??





`

Nurani yang beradab bagi Ibu pertiwi

Sejarah peradaban yang panjang tlah ditorehkan oleh manusia di muka bumi ini, Sejarah peradaban kehidupan manusia di dunia menjadi bagian yang penting dalam berkehidupan. Berdasarkan Waktu demi waktu yang menandai kelahirannya, pencapaian produktif kearifan-kearifan terus mengalami perkembangannya. Ataupun berdasarkan penamaan-penamaan berdasarkan waktunya, misalkan Masehi, sebelum Masehi, Dinasti, Rezim, Prasejarah, Zaman Purba, Zaman Kerajaan, Zaman Kesultanan, Orde lama, Orde baru, Reformasi, Revolusi dan seterusnya. Seluruhnya menjadi bagian yang panjang dari perjalanan peradaban di muka bumi ini.
Silih bergantinya masa, silih bergantinya ulama, silih bergantinya teladan, silih bergantinya Pemimpin-Pemimpin, Raja-Raja, Sultan-Sultan, Presiden, Perdanamenteri dan seterusnya. Betapa sangat berlimpahya warisan peradaban manusia di muka bumi ini bukan ?, bila kearifan telah membahana hingga ke segenap nurani kemanusiaan, ini juga dikatakan bagian dari Rahmatan lilalamin itu, bagi mereka dari kisah demi kisah, banyaklah hal yang dapat dipelajari untuk mengilhami pengenalannya, perbaikan kearah masa depan yang lebih berkualitas, demi ketenangan jiwa bagi seluruh penghuni bumi ini. Maka berdasarkan pelajaran-pelajaran yang dapat di petik hikmahnya dari kisah peradaban itu, maka Mereka akan membangun peradaban manusia dan dirinya sendiri berdasarkan nurani yang sejatinya dikatakan rahmatan lilalami tersebut..
Pengingkaran kebenaran yang muncul di permukaan lautan peradaban manusia ibarat buih di lautan yang sebenarnya, dan perumpamaan lautan itu adalah kebenaran., buih itu akan tenggelam walau sesering mungkin muncul kepermukaan. Coba kita merujuk bersama-sama, bukankah buih itu pernah muncul di permukaan lautan peradabann manusia sebelumnya. dari kisah sejarah peradaban manusia bukankah kemenangan itu bersama orang-orang yang memegang teguh kearifan dalam berkemanusiaan ?.
Kapankah tibanya massa itu ?? dimana nurani kemanusiaan lebih didasari kearifan dalam peradaban manusia, betapa indahnya negeri itu. Biila kita melihat kedalam diri bangsa kita yang tercinta ini, Negeri Indonesia yang kita cintai ini, mungkin menjadi prioritas menyebarkan semangat kearifan itu, yang sekian lama terpendam. Kearifan itu telah banyak dilupakan oleh anak Negeri yang namanya Indonesia. Mungkin anak Negeri ini banyak disuguhkan makanan yang memperdaya saudaranya sendiri, ibu pertiwi pun tanpa diketahuinya menangis. Sehingga antara sesama Anak Negeri ini berlomba-lomba dalam keserakahan kakuasaan yang menyombongkan diri, golongannnya, partainya, sukunya, atau yang lainnya. Tak tanggung-tanggung kedurhakaan akan amanat ibu pertiwi, telah nyata, sehingga hanya memberikan tontonan yang menggelikan bagi masyarakat akar rumput yang menganut ajaran kearifan sejati. Sehingga muncullah perang opini bahwa pemerintah itu lupa diri, lupa akan jati dirinya hingga hilang nurani kemanusiaanya,. Lupa rakyatnya. Sehingga demikian siapakah yang memegang kearifan itu semestinya ? entahlah apa yang terjadi di Negeri kita ini.
Ingatkah kita pada kisah klasik Maling Kundang yang menjadi kisah fenomenal dan begitu di kenal di nusantara ? ia durhaka pada ibunya sendiri,. hingga ia di kutuk menjadi Batu. Dan pula Bila kita semua mencoba mengilhami kisah sejarah yang melegenda yaitu kisah Nabi Musa as dan Firaun. Betapa kedurhakaan Firaun pada Tuhan Nabi Musa as hingga ia di tenggelamkan dan mayatnya menjadi prasasti untuk mengingatkan akan kedurhakaan itu. Wahai anak Negeri yang menjabat di seluruh Negeri ingatlah akan kisah ini semoga dapat mengilhami kita semua dalam menjalankan kehidupan ini.