Rabu, 23 Juni 2010

“Dendang Retorika Politik di panggung Pemerintahan”

Bergulirnya roda reformasi merekomendasikan pola pembangunan yang semula bersifat sentralisasi, menjadi pola pembangunan yang otonom. dimana sebelumnya pusat memiliki otoritas yang mutlak dalam mengambil keputusan dalam mengatur daerah. Dengan berlakunya otonomi daerah, maka mengalami perubahan dimana daerah otonom diberikan kekuasaan untuk mengatur daerahnya sendiri. Sistim yang terbentuk menuntut dinamika diberbagai dimensi pemerintahan, yaitu legislatif, eksekutif maupun aparat penegak hokum di Negeri ini.

Semangat reformasi tertular pada komponen-komponen lainnya di dimensi Pemerintahan dan pada pelayanan masyarakat pun demikiann. Pengembangan dan perubahan, berimbas pada terbentuknya tatanan baru dalam berbagai dimensi bernegara dan berbangsa, dan seterusnya semangat itu terus dikobarkan dan diwujudkan. Pada prosesnya dalam melakukan reformasi birokrasi dan yang perubahan-perubahan lainnya, tidaklah selalu berjalan dengan mulus, apalagi permasalahan mendasar yang menyangkut moralitas yang belum dibenahi, masih mendominasi prilaku dalam berorganisasi. hal ini menunjukkan insitas dan intensitas kedewasaan yang dimiliki oleh anak-anak negeri ini dalam berbangsa dan bernegara, dan bila direnungkann kemana akan berjalan bangsa ini dan bagai mana kedepannnya ?, maka pantaslah perbaikan ke arah yang lebih baik tetap diteruskan.

Bergulirnya roda otonomi daerah yang telah dan sedang berjalan, ditandai dengan seremonial pemilihan kepala-kepala pemerintahan daerah, dalam pemilihan kepala pemerintahan negara dan daerah melalui mekanisme pemilihan secara langsung, para politisi dengan starategi-starateginya yang bertujuan untuk mendominasi, juga menguasai dalam upaya pemenangannya, kadang tidak segan-segan menghalalkan berbagai cara. Retorika politik untuk meyakinkan halayak yang pro kepada kepentingan mereka memperlihatkan tingkah laku dagang, terlihat layaknya pasar ada penawaran dan ada permintaan, yang demikian telah menafikkan prinsip-prinsip kearifan dan mencedrai nilai-nilai kearifan lokal serta kualitas kemanusiaan. Sehingga saat sekarang ini menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat awam, yang tidak kehilangan jatidirinya, menganggap langkah-langkah politisi itu sebagai propaganda yang akan menggunakan janji-janji dan kontrak politik yang fiktif. Tidak ubahnya mafia-mafia dalam filem hongkong, kekuatan politik digunakan sebagai alat untuk menindas dan menguatkan kekuasaannya untuk menguasai lahan jajahannya, setelah tujuannya berhasil semua itu akan diingkarinya. Sehinngga muncullah pertanyaan bahwa siapakah yang arif dan bijaksana dalam berbangsa dan bernegara ??

Dampak dari otonomi daerah yang telah terjadi, hannyalah mengkaburkan nilai-nilai kearifan lokal di daerah dan melahirkan kediktatoran versi otonomi, yang seharusnya kediktatoran itu telah berakhir di Negeri ini. Sebagai sebuah realitas yang ada, dimana para penguasa-penguasa di daerah menggunakan symbol-simbol budaya untuk di adopsi dan selanjutnya dimodifikasi sedemikian rupa, menjadi simmbol penguatan kekuasaannya.

Cobalah kita amati ketika prosesi pemilihan kepala-kepala daerah khususnya dan pemilihan kepala pemerintahan Negara, akan kita saksikan bersama betapa terorganisrnya ide-ide dagang para tim sukses, dengan retorika politiknya beraksi dipanggung pemilihan pemerintahan. hal ini menjadi komuditas para tim-tim sukses untuk melakukan transaksi suara dan sekaligus transaksi kepentingannya. Komuditas ini yang menjadi jikal bakal lahirnya organisme baru yang disebut penguasa diktator, dimana penguasa ini tidak memihak pada masyarakat akar rumput, yang seharusnya tidak berlaku demikian, pada hal diskriminasi dan pengkotak-kotakan masyarakat telah diketahui setelah melalui proses yang panjang dalam berbangsa dan bernegara, disegala komponen Bangsa dan politisi di Negeri seharusnya telah mengambil hikmah, dan hal tersebut pula dapat di asumsikan bahwa seakan-akan kita mengalami ditorsi jati diri sebagai bangsa di negeri sendiri.

Tidak ada komentar: