Senin, 19 Juli 2010

BENTURAN PRESEPSI PILKADA TERHADAP KEARIFAN LOKAL


Pemilihan kepala daerah atau Pemilu kada yang jaga disingkat dengan PILKADA , dapat diartikan sebagai prosesi hajatan akbar (pesta rakyat) yang dilaksnakan oleh suatu daerah untuk memilih pemimpin pemerintahan daerahnya, intensitas PILKADA menurut salah seorang narasumber dalam dialog pemekaran wilayah dan otonomi daerah mengatakan bahwa, pelaksanaan PILKADA di Negara ini begitu banyak yang tersebar di seluruh nusantara. Wah begitu ramai bukan…? Hal ini tidak dapat di pungkiri, inilah kelanjuatan dari kausalitas keberadaan antara masyarakat atau rakyat dan pemerintahan yang sampai saat ini terus menjalankan rodanya. Atau dengan kata lain inilah aktualisasi dari prosesi ketatanegaraan yang kita anut sampai hari ini, otonomi bersama pemekaran daerah menjadi kado indah bagi daerah yang telah memenuhi persyaratan berdasarkan seleksi yang alot, kalimat sebelumnya mewakili kalimat yang mengatakan agar pemekaran daerah itu tidak kebablasan alias kerasukan syaitan penghasut dan pegumpat untuk kekacauan di tengah masyarakat.

Pemerintahan dan masyarakatnya memiliki hubungan kausalitas yang alamia yang bersifat faktual dari waktu ke waktu, selanjutnya menuju ketatanan yang dicita-citakan lebih aktual dan beradab dari sebuah komunitas yang senantiasa menginginkan keteraturan dan keharmonisan dalam berkehidupan. Suatu keniscayaan pemerintahan itu ada bila tidak mengenali atau mengakui keberadaan masyarat atau rakyatnya bukan ..? cita-cita yang mendambakan kedamaian dan keharmonisan dan ditambahkan lagi dengan kesejahtraan dan selanjutnya kemamkmuran dalam berkehidupan inilah esensi dari kearifan lokal, yang sejak lama diperjuangkan melalui atuaran yang tertuang pada aturan adat-istiadat, dokma keetnisan (sukuisme), yang terus menerus mengalami polarisasi menuju kepada tatanan kenegaraan dalam Negara kesatuan RI, menjadikan cita-cita itu semakin dikuatkan dalam atuaran-aturan kebagsaan dan kenegaraan yang tidak lain adalah aktualisasi dari hati nurani tiap-tiap rakyat yang bersama-sama melawan segala bentuk penjajahan, khususnya para penjajah yang menjajah bangsa Inndonesia selama 350 tahun lamanya. Selanjutnya apa yang terjadi pada saat sekarang ini apa yang lebih menonjol kepermukaan kedamaiaan dan kemakmuran atau penjajahan baru dan kediktatoran ?

Jadi jelaslah tujuan dari PILKADA yang diselenggarakan adalah untuk memilih kepala pemerintahan daerah yang akan melanjutkan dan menjalankan roda pemerintahan demi keteraturan dan kedinamisan serta kesejahteraan masyarakat atau rakyatnya.

Dari kalimat “Pesta Rakyat”, saya jadi teringat dengan kalimat “Pesta Kampung” atau pesta-pesta adat lainnya, mungkin kita bisa tersenyum tipis, memncoba bagaimana jika membandingkan esensi dan estetika yang dikandung antara pesta rakyat (PILKADA) dengan Pesta Kampunng. Ya maklumlah fakta-fakta yang dapat kita temui secara umum di sekeliling kita kemudian telah dapat membentuk presepsi kita secara khusus. Sebagai contoh kasus, sedikit ingin mengajak kembali menilik fakta-fakta yang pernah ada di sekeliling kita tentang hal yang berhubungan dengan PILKADA.

Saya ingin bercerita tentang kisah nyata yang saya temui ketika pilkada yang telah dilaksanakan 2 (dua) tahun yang lalu, di sebuah kota yang bernama kota Bau-Bau, kisahnya seperti ini, pada saat PILAKADA kota Bau-Bau, yaitu untuk pemilihan Wali Kota dan Wakilnya, tentunya menyedot perhatian dari segenap masyarakatnya. Al kisah pada saat-saat berlangsungnya prosesi PILKADA yakni tepatnya menjelang pemilihan (kampanye peserta pilkada), terdapat sebuah keluarga yang sebelum adanya hajatan tersebut, begitu tinggi semangat kekeluargaan namun setelah adanya hajatan tersebut menjadikan hal yang berbeda, menjadi konflik antara keluarga, ceritanya seperti ini.

Dengan adanya hajatan PILKADA yang pesertanya tidak lain adalah merupakan sanak keluarga mereka, namun dari ke-dua peserta yang bersaing merebutkan kursi kepemimpinan Wali Kota dan Wakil Walikota, dari keluarga yang satu mendukung calon yang ber nomor urut 1 dan keluarga yang satunya lagi mendukung calon yang memiliki nomor urut 3. dari perbedaan yang mereka miliki menjadikan perbedaan-perbedaan yang lain dan konflik itu tidak dapat terhindarkan.

Pada suatu saat yang disebabkan oleh kedekatan mereka kepada masing-masing calon yang didukungnya, maka mereka dipercayakan untuk menjadi koordinator wilayah, membentuk posko dan menarik simpati untuk mencari dukungan terhadap calon yang mereka menangkan. Persaingan demi persaingan untuk mendapatkan simpatisan terus terjadi secara diam-diam dan dingin di antara kedua kubu, yang semakin hari semakin menggunung, kembali lagi walaupun mereka adalah sebuah keluarga. Begitu ironis apa yang terjadi, diperkeruh lagi dengan gaya kampanye dan demi mendapatkan simpatisan, dari tim-tim pemenangan dari kedua calon tersebut saling melempar isu, saling melakukan pembunuhan karakter secara terang-terangan atau tersembunyi dan akibat dari hal tersebut secara langsung dan tidak langsung menjadikan sesuatu yang meresahkan di tengah masyarakat umum dan mengusik egosentris antara simpatisan dan pendukung calon yang bersaing, begitu pun yang terjadi diantara keluarga tersebut.

Alhasil ketika PILKADA itu berakhir, di mana pada saat itu telah dapat diketahui walaupun pada awalnya simpang-siur pemberitaannya yang sumbernya dari mulut-ke mulut, di kabarkan bahwa dari hasil perhitungan suara telah dapat diketahui bahwa calon yang memiliki nomor urut 1 telah diputuskan sebagai pemenang dalam PILKADA tersebut. Pada saat itu hari menjelang malam tepatnya setelah shalat Magrib usai, dari kejauhan terdengarlah sorak-sorak kegembiraan dari sebuah posko dan keluarga yang mendukung calon bernomor urut 1, begitru ramai terlihat, dan tidak lama berselang setelah sorak-sorak kegembiraan itu dari sudut yang lain terlihat segerombolan anak-anak yang meluapkan kegembiraannya sambil melakukan pesta kembang api,tanpa menyadari disekitar mereka ada orang-orang yang masih kalut dan bersedih karena mendukung calon yang mengalami kekalahan. Maka tanpa disadari oleh pihak yang bergembira itu spontan dari koordinator pemenangan calon yang kalah itu kemarahan yang meluap-luap dan tak terbendungkan kata-kata yang mewakili bentuk kemarahannya diluapkannya. Seketika saat itu menjadi hening dan tegang. Kata-kata pedas dan panas membakar suasana kegembiraan itu dalam sekejap.

Belum berakhir sampai disitu saja, setelah PILKADA itu berakhir perang dingain di antara keluarga itu belum terselesaikan, saudara menjadi musuh itulah yang mungkin dapat diketahui, sebagai mana bahasa wajah yang tersirat, tergambar sebagai bahasa hati yang belum bias menerima kemalangan.

Berselang 3-4 bulan setelah PILKADA itu berlangsung, dan dari kedua belah pihak yang salah paham itu sama-sama tidak menduga kalau-kalau orang tua mereka pada hari itu telah berpulang ke rahmatullah. Kemudian mereka dilarutrkan dalam suasana duka dan kehilangan sosok yang dihormati dan pengayom mereka, hanya hening yang berkobar di sisi pertikaian yang menghabiskan energi, mungkin sudah saatnya untuk melihat jajuh kedepan tatanan yang ada, saling menundukkan egosentris dan menyadari betapa hikmatnya dan indahnya rasa kekeluargaan yang sejati itu, sehingga dari kedukaan yang mereka alami bersama mereka kembali dalam ikatan kekeluargaan yang lebih kuat lagi dari pada sebelumnya.

Hikmah dari kisah yang terjadi saat PILKADA itu begitu berarti bukan ? dari penggalan cerita di atas maka jangan sampai perbedaan dalam mendukung calon dalam suatu PILKADA itu, dapat mengancurkan nilai-nilai kekeluargaan yang indah dari sebuah keluarga, apalagi itu disebabkan oleh hal sepeleh karena PILLKADA.
Kembali lagi pada pesta kampung, ya maklumlah 75 % rakyat Indonesia berdasarkan survey yang engkau dan aku lakukan termasuk masyarakat di perkampungan. Kembali pula saya teringat dengan beberapa pesta kampung yang lazim dilakukan di sebuah perkampungan yang dapat kita temui, dari prosesi-prosesi pesta kampung itu dapat kita sama-sama saksikan betapa kuatnya kebersamaan, kegotong-royongan di antara warga desa. Para ibu menyiapkan hidangan bagi tamu-tamu kala pesta kampung berlangsung, para bapak bergotong-royong membuat perlengkapan pesta kampung dan tidak ketinggalan pula gotongroyong yang dilakukan oleh para pemuda dan pemudi desa. bukankah itu suatu keindahan desa yang tidak dimiliki oleh lingkungan kota bukan ?, indahnya kearifan local pada masyarakat desa dalam pesta kampung, semua larut padu dalam kebersamaan dan kegotongroyongan juga larut dalam hikmatnya rasa syukur kepada tuhan YME atas anugerah yang diperoleh, bentuk ucapan rasa syukur (selamatan) atas karunia dan anugerah dari Tuhan YME, melaui salawat dan salam ke atas Nabi Muhammmad Saw dan do’a - do’a dipanjatkan.

Berbagai hal yang terjadi dalam pesta kampung yang besifat tradisional namun bernilai kearifan yang membumi ini berbeda kondisinya denngan nilai pesta rakyat (PILAKDA) seperti yang tergambar sekarang ini di berbagai daerah di Indonesia, yang banyak terjadi dari prosesi hajatan rakyat itu justru perselisihan dan sengketa PILKADA yang berhujung kepada kerugian dan menelan korban saja, dampak yang mengenaskan sekaligus memprihatinkan. Mengapa bukanlah kearifan yang membumi tetapi kemungkaran yang jadi membumi di tengah masyarakat.

Bila pendidikan politik itu adalah baik adannya bagi seluruh masyarakat atau rakyat, maka suatu ajaran yang cocok dan pas kiranya esensi yang berkembang sebagai kearifan lokal dalam pesta kampung di adopsi oleh hajatan akbar yang dinamakan sebagai PILKADA. Dengan mengedepankan kearifan-kearifan local maka diharapkan kelak menemui suatu ketetapan yaitu kehidupan yang harmonis dan dinamis dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara di nusantara ini.

Saya kembali tersenyum tipis bila mengingat kisah kami bersama kawan-kawan yang masih berada disebuah kos-kosan kala itu, kami memiliki kelompok kajian yang disingkat LST, kami bukanlah komunitas kajian yang gemuk yang dipenuhi oleh banyak anggota, namun kami adalah kecil tetapi mampu memberi perubahan yang berarti bagi ORDA (organisasi daerah) kami. Seingat saya ada kawan saya yang bernama Anca, edy blokele, Adri, Ala, Eko dan Akhmad ustaz. Suatu ketika kami diperhadapkan dengan kondisi ORDA yang terancam fakum, yang ketika itu kepengurusannya tidak jelas kinerjanya dan seterusnya, dari kenyataan itu kami menyadari, bahwa ORDA adalah bagian dari media pembelajaran dan sekaligus media silaturahim kami ketika itu. Sehingga mengingat hal tersebut diatas mungkin saja karena kesadaran dan semangat yang sama mendorong kami untuk merubah presepsi kami semula. Menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik lagi. Melalui pertemuan beberapa kawan maka kami bersama-sama menjadwalkan sebuah rangkaian kegiatan diskusi dan kajian-kajian tentang berbagai hal yang ingin kami ketahui, ya begitulah sekaligus merekontruksi kerangka berpikir yang masih kacau…

Dari kondisi yang kami sadari tersebut, mungkin satu pertanyaan yang mendasar bagi kami semua ketika itu yaitu bagaimana ORDA kedepannya ?, dari pertemuan-pertemuan yang intensif dari beberapa kawan se-kos-kosan, maksud saya pertemuan yang intensif itu terjadi, disebabkan oleh tempat tinggal yang sama dan permasalahan tentang ORDA yang kami sama-sama sadari. Maka wal-hasil terbentuklah suatu forum kajian dan diskusi kecil-kecilan berskala minoritas itu. Dari waktu ke waktu diskusi demi diskusi gencar kami lakukan, sampai-sampai karena ada abang-abang kami yang memiliki koneksi dengan beberapa pemateri, pemateri-pemateri itu di datagkan untuk berbagi pengetahuan, seingat saya juga beberapa kali kami keluar dari tempat kos yang kami sering skali melakukan diskusi, menuju ke kediaman seorang teman yang turut simpatik dan ingin bergabung dalam suatu prosesi diskusi yang kami sering lakukan pada saat itu.

Suatu ketika kami kedatangan seorang pemateri, yang konon sering membawakan materi pada sebuah kampus di daerah tempat kami menimbah ilmu, ia sering membawakan materi yang bertemakan kapemimpinan, pada saat itu kami langsung merapatkan barisan untuk mendengarkan pemaparan materi yang akan dibawakan. Pada saat semua orang yang tergabung dalam diskusi itu telah usai salah seorang dari kami mencoba bercerita tentang permasalahan ORDA yang kami sama-sama miliki,

Wal-hasil mendapat tanggapan yang menarik sampai-sampai kami pada saat itu merencanakan sesuatu untuk mengangkat seorang ketua dari peserta diskusi untuk memimpin ORDA kami kelak. Singkat cerita orang yang kami tunjuk adalah teman, sahabat kami yang bernama Edi Brokele, pada saat itu pun ia menyatakan kesediaannya dan tentunya kami juga turut akan mendukungnya. Menurut sebahagian dari kami sosok yang kami pilih itu memiliki integritas, loyalitas dan rasa tanggung jawab yang tinggi serta memiliki komotmen, namun yang menjadi fokus adalah kejujuran yang ia punyai. sepintas bagi yang tidak begitu mengenalinya ia dikatakan tidak memiliki cirri-ciri sebagai pemimpin karena ia tidak Vokal, dengan kalimat menyindir ia tidak mampu bergaul dengan baik pada sebahagian anggaota ORDA, ya begitulah nada-nada pesimis akan sosok itu, tetapi yang jelasnya kami tidak akan terpengaruh dengan nada-nada sumbang itu karena kami sangat mengenalinya. Satu hal yang kami sadari sejatinya sosok seperti ia lah ketika itu yang sebaiknya menjadi pemimpin masa depan ORDA kami.

Ketika masa-masa peralihan pengurus pada pengurus yang baru, yang juga lazim di kenal pada organisasi daerah lainnya yang tepatnya disebut MUBES, ketika pelaksanaan Mubes itu berlangsung dimana sepanjang pelaksanaannya di hujani berbagai pendapat dan argumentasi dari kawan-kawan sesame anggota, sosok yang kami maksud pada uraian sebelumnya kenyataannya tidak pernah terlontar pendapat dan argument-argumennya, ia hanya banyak diam, mendengarkan sambil mengamati jalannnya MUBES itu, sampai pada saat penentuan BALON ketua umum namanya muncul dan termasuk dalam nominasi calon ketua umum, dan seterusnya sampai pemilihan ketua dilakukan ia terus maju dan sesekali dengan argument yang padat ia bahasakann kepada forum yang ada. Ya dengan kenyataan yang tidak biasanya mungkin presepsi pesimistis dari kawan-kawan yang tidak mengenali sosok Edi tersebut mengalami gesekan dan sudah seharusnya merubah presepsinya terhadap calon ketua itu. Selanjutnya ketika proses perhitungan suara kenyataan yang muncul adalah Edi menjadi ketua umum dengan perolehan suara yang mutlak.

Setelah prosesi pemilihan itu berlangsung dan masuk pada prosesi pengesahan sebagai ketua ORDA, dari seseorang dari kawan-kawan yang hadir ketika itu mengeluarkan argument yang juga masih pesimis dan tidak mempercayaai kemampuan yang dimiliki oleh Edi, ia mengatakan kepada pembaca berita acara itu dengan nada yang lantang bahwa “bagaimana kalau saudara Edy kita uji kepemimpinannya selama 3 bulan” namun kebanyakan dari peserta yang hadir hanya diam dan binngung mendengar argument yang tidak beralasan itu, setelah semua prosesi itu berakhir dan sosok Edy adalah sebagai ketua umum ORDA, sepulangnya dari prosesi itu ia langsung mengatur rencana untuk mempertanggung jawabkan kepemimpinannya. Singkat cerita wal-hasil selama kepengeurusannya semua berjalan baik dan semua presepsi pesimis itu terbantahkan, suasana cair dan membaur antara satu sama lainnyadan setelah masa kepemimpinannya berakhir jelaslah ia dikenali sebagai pemimpin yang baik untuk ORDA. Dan mungkin saja menjadi puncak perbandingan dengan kepengurusan lainnya pada masa-masa mendatang.
Jadi kisah teman sekaligus sahabat kami itu, menebarkan hikmah kepada kita semua bahwa esensi kepemimpinan itu janganlah dinilai sebatas dari aspek fisik yang tampak mencirikan kekokohan materi kepemimpinan yang dimiliki, dengan mengabaikan aspek nonfisik seperti kejujuran, tanggung-jawab, konsisten, loyalitas dan integritas, sosok yang saya maksud mengajarkan kepada kita semua bahwa kejujuran yang bertanggung-jawab, konsisten terhadap pilihannya dengan membulatkan tekatnya menjadikan ia seorang yang patut dikagumi, dikenang sebagai pemimpin yang baik.

Dari kisah kawan sekaligus sahabat kami, dapat pula dikatakan sebagai kisah organisasi daerah yang memiliki pemimpin yang masih menganut kearifan local, untuk kisah itu dengan tema demikian munngkin akan menarik bukan ? kembali pada muatan kearifan local dari kisah itu adalah pemimpin yang memiliki kesadaran akan sebuah tatanan organisasi, menginginkan suatu perbaikan, mengedepankan sifat kejujuran (transparansi), rasa tanggung-jawab sepenuhnya, konsisten terhadap pilihan (Satukan Kata dan Perbuatan), loyalitas dan itegritas yang dilakukan demi cita-cita bersama, yang dapat mencair dam membaurkan segala perbedaan dengan perbuatan yang mendamaikan dan menentramkan setiap keberadaan yang nyata.

Bila kisah kami ketika memilih soerang pemimpin ORDA dari tempat kos-kosan ketika itu, bila coba mendekatkannya dengan pemilihan pemimpin melalui PILKADA, mungkinkah hikmah dari penggalan cerita itu dapat menjadi refleksi pemikiran untuk memilih pemimpin di daerah kelak ? maksudnya kearifan lokal itu, patut kita tunduk dengan kepentingan politik demi sebuah kekuasaan dan menafikkan nilai-nilai kejujuran (transparansi), tanggung-jawab, dan rasa kekeluargaan. Cederungkah kita mengorbankan rasa kekeluargaan demi kepentingan politik, lebih baikkah kita menjadi tim pemenangan untuk memenangkan orang lain dan mengalahkan diri kita sendiri…? atau dengan kata lain kondisi yang menyebabkan prinsip kearifan lokal lemah dihadapan kekuatan politik ataukah mestinya kemenangan hanya bagi diri kita bersama dengan rasa kekeluargaan yang utuh dan tidak terpengaruh dengan derasnya kekuasaan yang diperebutkan.

Upaya menata dan memperbaiki dan terus membenahi kondisi yang carut-marut, adalah tantangan yang berarti bagi pemimpin-pemimpin demikian pula sebagai pemimpin daerah. Pemimpin yang diharapkan dapat membawa perubahan kearah yang lebih baik lagi. Yang dapat mencairkan sekat-sekat sukuisme yang masih kental, dapat menerangkan sisi-sisi gelap dalam melihat masa depan.

Dalam beberapa waktu kedepan, PILKADA akan diselenggarakan di Kabupaten Wakatobi dan yang lebih tau jumlah harinya tinggal berapa hari lagi mungkin orang-orang yang lebih dekat dengan beliyau-baliyau, ya maklum saja sebagai tim pemenang ini kau ee…. Menjelang hajatan akbar tersebut banyak “menghamilkan” dan melahirkan opini-opini, ada yang optimis ada pula yang pesimis, begitu kuat daya pikat PILKADA sampai-sampai saja isu berbalas isu mulai digembor-gemborkan di kalangan elit tim sukses dan terkadang dunia maya juga bisa jadi lahan garapannya. Somoga kenyataan ini tidak menjadikan kita pesimis dan menjadikan intesitas harapan kita meredup atau kempes. Inilah realitas yang mesti disikapi oleh kita semua dan sudahlah saatnya wakatobi akan memilih pemimpinnya yang akan menentramkan, mensejahterakan dan mendamaikan seluruh masyarakatnya.
Selamat memilih……..


Bupati karang

Salam pemuji pemuja karangku
Dari empat pulau yang berbatu
Kau tak penah menjengukku
Bersemayam aku di tebing batu
Dari empat pulau yang berombak
kau tak pernah melihat perahuku
ku kayuh mengembang layer pencakar langit bergolak
badai halilintar berlabu
menyeret samparaja ke tebing batu

wahai pemuji karangku
yang berlayar tanpa perahu
yang tenggelam tanpa batu
matahora berlabu hanyutkan perahu
wahai pengagum karangku
bagimu piramida segitiga dunia
kau biarkan aku hilang merantau
meninggalkan hoga dan onemobaa

salam untuk penguasa lautan tebing batu
dari empat pulau yang bersatu
akankah kau menjengukku
mencari makan aku di tebing batu
engkaukah nahkoda penjuru mata angin itu
hanguskan topan jalankan perahu
hancurkan segitiga hijau
teruntuk anak-anak pulau
dari empat pulau yang bersatu
karena tebing-tebing batu

Anshari Soma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar